(كوني لؤلؤة نفيسة ولو بين الرمال ~**~ ~**~ كوني زهرة جميلة ولو بين الأعشاب ~**~ (يسري كومبيه ~**~
"Jadilah Sebutir Mutiara Yang Berharga Meski Di Antara Tumpukan Pasir... Jadilah Setangkai Bunga Yang Indah Meski Di Antara Tumbuhnya Rerumputan..." (Yusri Kombih)

Selasa, 01 Januari 2019

Cerita Carita




Ini bukanlah pengalaman yang indah untuk dikenang, bahkan bagi sebagian orang meninggalkan trauma berkepanjangan.



Ini bukanlah kisah yang indah untuk diceritakan, dalam sekejap suasana tenang berubah menjadi menakutkan.



Senja itu (22/12/18) di pantai Carita, aku dan rekan-rekan masih disuguhi keindahan pantai; debur ombak; desau angin; dan matahari sore yang perlahan kian tenggelam di lautan. Tak lupa, aku dan beberapa rekan mengabadikan momen itu dengan kamera smartphone.


"Amsainaa wa-amsa al-mulku Lillaah," status terakhirku di WhatsApp menjelang Maghrib hari itu.


Maghrib tiba, kami berdiri bershaf menghadapkan wajah dan hati kami kepada Dzat Maha Pencipta langit & bumi; yang menciptakan keindahan alam yang sore itu kami takjubi.


Aku membaca Ayat Kursiy pada shalat Maghrib, diteruskan dengan dua ayat setelahnya. Ayat yang bercerita tentang Allah; yang tiada Ilah melainkan Dia; Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri; Tak kan menyentuh-Nya kantuk apalagi tidur. Dan, Allah lah Pelindung bagi orang berkeyakinan, yang menuntun mereka keluar dari gelap menuju terang.


Kami lanjutkan jamak taqdim dengan Isya. Kulanjutkan membaca tiga ayat akhir dari surat Al Baqarah. Ayat jaminan dari Allah, bahwa beban ujian tidak akan pernah melampaui kesanggupan; Namun demikian, "Ya Allah, jangan bebankan bagi kami yang kami tak kuasa memikulnya."


Nun jauh di seberang sana, tampak Anak Krakatau menyala seperti onggokan arang merah dijilati api. Kian gelap malam, kian tampak jelas menyala.



Detik, menit, dan jam berlalu. Beberapa rangkaian acara yang kami lakukan di cottage (yang hanya berjarak belasan meter dari bibir pantai) telah usai.


Malam itu sepertinya telah melewati pukul 21. Acara bebas, semua dipersilahkan malakukan kegiatan masing-masing. Beberapa rekan berkelompok di halaman cottage dekat pantai. Yang lainnya berkelompok di teras cottage yang menghadap pantai. Sisanya, termasuk aku, berkelompok di ruang tengah cottage. Berbincang-bincang sambil meneguk secangkir kopi.


Saat itu, aku mendengar suara gemuruh yang menderu, seperti angin badai dan ombak air yang saling bergulung, aku pikir itu hanya angin dan ombak biasa.




Tiba-tiba rekan-rekan yang berada di luar halaman dekat bibir pantai berseru-seru. Berlarian ke teras cottage. Kami yang ada di ruang tengah langsung ikut keluar, menuju teras yang menghadap pantai. Penasaran.


Ternyata, suara gemuruh tadi, adalah ombak yang di luar kebiasaan, ombak yang biasanya hanya pecah dipinggir pantai, saat itu menghambur membanjiri halaman.


Saat itu, hampir seluruh kami (laki-laki) ada di teras itu. Menatapi ke arah laut. Seakan semua bertanya-tanya, "Ada apa ini?", "Apa yang terjadi?". Tapi tidak ada yang punya jawaban.


Di seberang laut sana tampak sepi, gelap, aku baru sadar nyala Anak Krakatau yang tadinya tampak jelas telah lenyap, seperti ditelan sesuatu. Sesaat tidak ada gerakan. Tidak ada suara. Hening.


Selang beberapa detik. Suara gemuruh itu datang lagi, kian lama suara itu kian mendekat. Aku dan yang lainnya seperti memandang satu sama lain. Bingung. Aku mengira, suara itu sama saja seperti sebelumnya, ombak yang akan membanjiri halaman.


Sebenarnya, kami tidak yakin ada apa di sana, karena jarak pandang yang terbatas. Hanya menerka-nerka.


Tapi, keadaan berubah mencekam. Saat tiba-tiba suara itu kian menyeramkan. Di hadapan kami tampak ombak raksasa setinggi atap terus mendekat dengan cepat. Kami seakan terpaksa mendongak untuk melihatnya. Kami terjebak.



Ombak raksasa setinggi atap di depan mata. Takut. Kaget. Panik. Bingung. Heran. Semua rasa itu bercampur menjadi satu. Takut, karena ombak itu tinggi sekali. Kaget, karena ombak itu tiba-tiba sekali. Panik, karena kami belum punya rencana bahkan seakan belum percaya. Bingung, karena suasana yang menjepit. Heran, karena sama sekali tak terbayangkan.


Detik itu juga, dengan insting untuk menyelamatkan diri, kami berbalik bergegas berlarian. Aku tidak bisa berbuat banyak, berlari dari ombak raksasa yang menerjang dari belakang, rasanya seperti anak ayam yang berlari dari cengkeraman hewan buas.


Saat berlari melewati ruang tengah cottage hingga posisiku berada di pintu menuju yang menghadap daratan (masih terus berlari) aku mendengar suara ombak yang kian mendekat, menelan apapun yang ada di depannya. Kudengar suara, "Kraak... Kraaaaak... Kraaaaaaaaaak...", sepertinya atap, dinding, tiang, dan seluruh bagian cottage tempat kami dilumat habis oleh ombak raksasa itu. Detik itu juga, aku ikut tergulung.


Seperti mimpi buruk, tapi itu adalah kenyataan. Nyata sekali.




Seperti mimpi buruk, tapi itu adalah kenyataan. Nyata sekali. Aku tergulung, terhanyut, tenggelam di daratan, berdesakan dengan puing-puing, tergores, tersobek, terbentur, oleh entah apa saja.


Beberapa detik di bawah gulungan ombak itu, aku masih bisa menahan nafas, sambil berusaha naik ke permukaan. Sekali. Dua kali.Tiga kali. Empat kali. Lima kali. Enam kali.Tujuh kali. Seakan tak henti-henti aku mencoba, namun permukaan tak kunjung kutemukan. Aku masih tenggelam. Sepanjang itu rasanya seperti dikuliti hidup-hidup. Perih.


Nafas tercekat. Sesak. Air, pasir, dan krikil, mulai masuk ke saluran pernafasan. Aku masih belum juga muncul ke permukaan.


Saat itu, aku tidak lagi berharap banyak. Kupikir, "Inilah akhir." Kupikir, "Inilah maut." Kupikir, "Aku akan menuju alam selanjutnya." Kupikir, "Inilah waktuku pulang." Terbayanglah wajah orang-orang kucintai. Tampak jelas wajah-wajah mereka. "Ya Allah, kutitipkan orang yang kucintai pada-Mu."


Sejenak, waktu seperti melambat. Bahkan seakan berhenti.


Tiba-tiba, "Hhhhhhhhah." Kepalaku muncul ke permukaan. Aku menarik nafas panjang. Memuntahkan air, pasir, dan krikil yang sempat tertelan. Saat itu juga, kakiku langsung menjejak tanah. Aku bergegas melawan arus air melewati bangunan dan bus di kiri kananku, air mulai mendangkal, aku duduk di atas puing-puing kayu.


Tubuhku gemetar kedinginan dan kesakitan. Kakiku rasanya tidak bisa dilangkahkan. Wajahku penuh darah. Sekujur tubuhku rasanya remuk. Aku meringis kesakitan.


Aku tatapi sekitar. Gelap. Listrik padam bersamaan dengan datangnya gulungan ombak tadi.


Rasanya aku seperti terlempar ke dunia lain. Suasana sangat kacau. Berantakan. Aku hanya mendengar jeritan perempuan, tangisan anak-anak, dan alarm mobil yang bertumpuk dengan puing bersahut-sahutan. Tubuh-tubuh tak bergerak tergeletak bergelimpangan. Aku tak tahu, itu masih hidup, atau, entahlah.


Aku bahkan seperti belum percaya apa yang baru saja terjadi, "Apakah ini mimpi?" Darah yang mengalir dari luka di sekujur tubuhku memberikan jawabannya. Ini nyata. Sangat nyata.


Ini bukanlah pengalaman yang indah untuk dikenang. Bukan pula kisah yang indah untuk diceritakan. Bahkan merasakannya sendiri jauh lebih menakutkan.


Semoga ada hikmah dan 'ibrah dari semua kejadian ini.


Allaahuma ajurnii fii mushiibatii wakhluflii khairan minha. Aamiin.

Minggu, 11 September 2016

Tetes Rindu


jika kau terlampau lelah
menghitung tetes hujan malam ini
kau akan terlebih jengah
mengira tetes rindu di hati ini
dingin mendekapku
rindu dendam memelukku
jarak dan waktu kian memupuk rindu
laiknya tetes hujan yang menghidup bumi
biarlah tetes rindu ini kian menyubur hati
sebab dari sanalah mahabbah akan membuah
sebab dari sanalah mawaddah akan membunga
sebab dari sanalah rahmah akan mendaun
sebab dari sanalah amanah akan mengakar
...
semoga saja
kuharap
buah mahabbah yang manis
adalah bentuk kasih dari-Nya
bunga mawaddah yang mengharum
adalah wujud sayang dari-Nya
daun rahmah yang menghijau
adalah tanda ridha dari-Nya
dan akar amanah yang mengokoh
adalah bukti barakah dari-Nya
ah semoga saja




Agustus, 2016

Jumat, 15 Juli 2016

Cerita Tentang Menghafal Al Qur'an


Bismillah Ar Rahman Ar Rahim..


Sering orang2 tua & jama'ah yg bertemu saya mengeluhkan betapa ia kesulitan menghafal Quran..
Lalu saya tanya:
"Berapa kali bapak mengulang ayat yg akan atau sedang bapak hafal?"

"Hmmm..." si bapak mikir2.
Sebelum dijawab langsung saya berikan pertanyaan lanjutan...


"Sampai gak 40 kali?"
"Enggak." Si bapak geleng2.
Nah, itu masalahnya ..

Masalahnya bukan karena "sulit" tetapi kerap kali karena kita "kurang sabar"..

Termasuk saya, saat menghafal Quran saya tidak sabar.. Sering saya mengambil 5 atau 7 koin yg sudah saya cuci & bersihkan, lalu saya jadikan koin-koin itu sebagai alat hitung. Setiap sekali baca, satu koin saya ambil. Sebelum semua koin habis saya tidak akan lanjut ayat. Hal itu agar saya tidak tergesa lanjut ke ayat berikutnya. Dan saya bahkan belum pernah mengulang sampai 40 kali, betapa saya tidak sabar.. Astaghfirullah. A'udzubillah.

Padahal ternyata, inti dari menghafal baik Quran maupun ilmu lainnya adalah mengulang-ulang.

Imam Syafi'i -rahimahullahu ta'ala-, beliau mengulang sebuah hafalan sampai 40 kali. Padahal 1 kali pun beliau langsung hafal. Tetapi beliau ttp melakukan  pengulangan..
Syihab Az Zuhri -rahimahullahu ta'ala- melakukan pengulangan sampai 70 kali untuk sebuah hafalan..
Abu Ishaq As Syirozi -rahimahullahu ta'ala- mengulang pelajaran sampai 100 kali. Hasan bin Abi Bakr An-Naisaburiy -rahimahullahu ta'ala-, mengulangi 50 kali, beliau seorang ahli fiqih. Hasan sang ahli fiqih tersebut banyak mengulang pelajaran di rumahnya, saking banyaknya beliau mengulang pelajaran di rumahnya sampai2 nenek yang tinggal di rumahnya mengatakan,
“Demi Allah, saya telah hafal!"

Kemudian Hasan mengatakan, “Ulangilah”.
Dan nenek tersebut bisa mengulanginya dan telah benar2 telah hafal. Setelah lewat  beberapa hari , Hasan mengatakan,
"Wahai orang tua ulangilah apa yang dulu engkau hafal."
Nenek tersebut menjawab, "Saya sudah tidak mengingatnya."
Lalu Hasan mengatakan, "Saya senantiasa mengulangi hafalanku agar aku tidak lupa sepertimu."
Demikianlah para Salaf as Shalih... Mereka gemar menghafal dan mengulang hafalan. Ada yg mengulang hafalan sampai 100 kali, 250 kali, 500 kali, dst..

Pun dengan mengulang membaca kitab2, mereka (orang-orang shalih terdahulu) gemar sekali membaca, bahkan satu kitab yg sama bisa diulang-ulang membacanya sampai 40 kali, 100 kali, dst. Kita biasanya membaca satu buku cukup sekali, meski kita berkomentar bahwa buku tersebut bagus sekali, namun tetap saja kita malas mengulangnya.

Kembali ke hal menghafal, intinya adalah memperbanyak pengulangan..

Selain mengulang2...
Ada pula hal lain yg juga sangat membantu dalam memudahkan hafalan.
Yakni, memperbanyak mendengarkan ayat-ayat Al Quran..
Selain mengajar Qur'an di sekolah, saya jg mengajar privat Quran di lingkungan masyarakat..
Saat mengajar privat, saya menemukan ada anak-anak yg mudah sekali menghafal ada pula yg sangat kesulitan.

Nah, anak2 yg cepat dalam menghafal--selain karena Allah memberinya kecerdasan--tetapi saya yakin di rumah si anak tersebut biasa & dibiasakan oleh ortu-nya mendengarkan ayat2 Quran ntah itu dari audio atau audio visual.

Saya tidak perlu bertanya pada ortu-nya utk tahu hal ini. Saya bisa tahu dari proses menghafal. Saat saya mengajarkan satu ayat, dia mudah sekali mengucapkan ayat itu, seperti ayat itu tidak asing baginya..

Hal lain yg lebih mendukung dugaan saya, adalah si anak kadang2 mampu menyambung satu ayat dengan ayat berikutnya tanpa saya ajarkan demikian (biasanya saya ajarkan menghafal seayat-seayat alias tidak disambung ke ayat selanjutnya)..

Nah, hal ini hanya mungkin terjadi karena dia sering mendengarkan ayat2 itu. Karena ada di sebagian rekaman2 murottal para Syaikh Qurro' (ahli Quran) yg menyambung2 ayat yg satu dengan ayat berikutnya.


Jika anak lain hanya mampu menghafal 3 ayat baru setiap sekali pertemuan.. Anak2 yg terbiasa mendengar ayat2 Quran mampu menghafal sampe 10 ayat bahkan lebih. Pengalaman saya mengajar anak yg gemar mendengar tersebut, mampu menyelesaikan surat Al Fajr (30 ayat) dalam 3 kali pertemuan singkat (sekitar 30 menit).. Si anak tersebut masih kelas 2 SD. Anak2 yg lain yg seusianya hanya mampu menghafal 2-3 ayat saja per pertemuan ...

Bukan hanya si anak, saya pun merasakan efek dari banyak mendengar ini. Mudah sekali menghafal ayat-ayat yg sering di dengar. Seakan ayat2 itu ada rekamannya di alam bawah sadar. Terdengar meski samar. Intinya ayat-ayat tidak asing lagi dan sudah akrab.

Maka itu, jika ada sebuah surat yg ingin kita hafal, coba cari murottal surat tersebut yg sangat kita sukai ... Lalu sering2 dengarkan bahkan jika kita mengerjakan tugas lain, tidak mesti fokus "mendengarkan", sekedar "mendengar" pun boleh. Misalkan surat Ar Rahman, Al Waqi'ah, dll... Bisa dari suara Misyari Rasyid al 'Afasy, Hani Ar Rifa'i, Sa'ad Al Ghomidi, Mahmud Kholil Al Hushshory, ramatullahi 'alaihim.. atau bahkan rekaman suara sendiri.

Nanti akan tiba saatnya, betapa mudah sekali menghafal ayat tersebut dengan izin Allah, insyaallah.


Maka membiasakan mendengar murottal Alquran juga bisa membantu mempermudah proses menghafal Al Quran.

Baik dengan fokus mendengarkan, atau sekedar mendengar saat kita sibuk dengan urusan lain (menyetir, membaca buku, menulis, memasak, dll). Bahkan saat kita tidur sekali pun, otak akan kita tetap bekerja saat audio murottal tersebut masuk melalui pendengaran kita. Dan hal ini telah terbukti secara ilmiah.. Allahu a'lam.

Banyak mengulang, banyak mendengar..
Sisanya, bersungguh-sungguh dan banyak berdo'a.. kemudian Istiqomah! 😅
Allahumma irhanma bi al Quran.. Aamiin.. 😀



Yusri Kombih
PTIQ Jakarta

Sabtu, 06 Februari 2016

Pernah Sekali Waktu



Berbicara tentang cinta…

Aku pernah jatuh cinta. Pernah sekali waktu. Meski setengah tak percaya, tapi cinta tak membutuhkan kepercayaan untuk tumbuh. Ia tercipta tanpa direkayasa. Meski tetap saja aku setengah tak percaya. Saat itu.



Pasalnya aku pernah tidak percaya pada cinta. Aku percaya bahwa perasaan cinta hanyalah perasaan orang bodoh yang tak kan pernah menyentuhku. Itu adalah kepercayaan yang kuanut beberapa waktu. Aku selalu muak pada kata cinta. Aku memusuhi cinta. Aku membenci cinta. Kau tahu kenapa? karena aku merasa tak kan pernah merasakannya. Ya. Tak kan pernah!



Kupandangi diriku lekat-lekat. Kutatapi sendiriku dekat-dekat. Kulihati akuku lekap-lekap. Di bagian mana cinta akan tumbuh pada diriku? Mungkin kah cinta akan tumbuh di dadaku seperti rerumputan? Atau kah cinta akan berbuah di perutku lantas bergelayutan? Di mana cinta itu? Aku tak percaya!

Aku menertawakan cinta! Haha.



Aku tak menyalahkan takdir. Tapi takdirlah yang mengenalkanku pada cinta. Perkenalan yang begitu indah yang tak kusadari pada akhirnya membuatku tak mengenali diriku sendiri.



Pernah sekali waktu aku jatuh cinta. Sedetik cinta yang akhirnya menyita seluruh detikku setelahnya. Tentu saja setiap orang pernah jatuh cinta, tapi saat itu kupikir hanya akulah. Ah, aku terlalu awam tentang cinta. Tentu tak seperti yang kupikir dalam picikku sebelumnya. Ia tak kan tumbuh bak rumput atau bergelayut bak buah. Itu terlampau sederhana. Cinta tak sesederhana itu.



Kata mereka orang jatuh cinta, hatinya akan berbunga-bunga. Ya, itu setengah benar. Tak sepenuhnya. Karena bunga-bunga tak sampai menjelaskan semua rasa itu. Karena rasa itu ajaib. Ya. Magis.



Pernah sekali waktu aku jatuh cinta. Ya, hari itu. Hari di mana aku melihat sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku mendengar sesuatu yang tak pernah kudengar sebelumnya. Aku merasa sesuatu yang tak pernah kurasa sebelumnya.



Rasa? Rasa apakah itu. Aku tak mampu mendefenisinya.

Aku melihatnya. Sedetik waktu. Bercahaya. Kemerahan. Seperti lampu sorot yang hanya menerangi si dia, sedang yang lainnya redup saja. Ajaib. (Ini sugguhan, bukan gaya bahasa!)




Kutundukkan pandanganku. Gahddhul Bashar, itu materi kajian yang masih kuingat. Kuimani.



Kutundukkan pandanganku. Tapi aku terlambat. Sangat terlambat. Aku terlambat bahkan sejak lima puluh ribu tahun yang lalu.


Kau bunga yang indah
Biarlah aku melihatmu dari sini
Dari luar pagar taman ini
Kau rembulan yang menawan
Biarlah aku memandangmu dari sini
Dari kerendahan bumi ini
Kau permata yang berharga
Biarlah aku memimpikanmu dari sini
Dari mimpi-mimpi yang menyedihkan ini


Rasa itu tak butuh waktu panjang untuk tumbuh. Ia lebih ajaib dari rerumputan yang membutuhkan energi ultraviolet untuk fotosintesinya. Ia lebih magis dari buah yang memerlukan fase vegetatif untuk pertumbuhan generatifnya. Ah, rasa itu tumbuh begitu saja. Tak butuh energi. Tak butuh fase.



Ya, rasa itu tak membutuhkan energi dan fase pada masa pertumbuhannya. Tapi nyatanya seluruh energi tak kan sanggup menggenggam rasa itu. Seluruh fase tak kan mampu menyudahi rasa itu. Sedetik waku yang pada akhirnya menyita seluruh detikku setelahnya. Aku terlambat. Aku sangat terlambat. Aku terlambat lima puluh ribu tahun lamanya.



Pernah sekali waktu aku jatuh cinta. Hingga kini aku tak mampu lepas darinya.

Mereka mencelaku karena aku jatuh cinta. Padahal cinta bukanlah mauku. Padahal cinta bukanlah pilihanku. Jika aku bisa memilih, aku akan memilih untuk tidak jatuh cinta.



Kini… kupandangi diriku lekat-lekat. Kutatapi sendiriku dekat-dekat. Kulihati akuku lekap-lekap. Aku tak pernah lagi bertaya, “Di bagian mana cinta akan tumbuh pada diriku?”. Karena bahkan setiap desah nafasku menjawabnya.


Aku tak pernah lagi meyalahkan cinta. Aku tak pernah lagi menyalahkan mereka yang jatuh cinta. Karena aku berharap, seseorang di sana tidak akan menyalahkanku atas cinta ini.


Sekali waktu
Kau menyuapiku dengan segelak tawa
Aku terbahak
Lain waktu
Kau menyulangiku dengan seisak tangis
Aku tersedak

Kini
Di manakah kau?
Kau menghilang tanpa jejak.




Hujan Sore Ini

Sungguh Menakjubkan Urusan Seorang Mukmin



Bismillah ar Rahman ar Rahim


فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ ۚ وَمَن يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ يَغْلِبْ
فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
(Maka hendaklah berperang di jalan Allah) demi untuk meninggikan agama-Nya (orang-orang yang membeli) artinya menukar (kehidupan dunia dengan akhirat. Siapa yang berperang di jalan Allah lalu ia gugur) mati syahid (atau memperoleh kemenangan) terhadap musuhnya (maka nanti akan Kami beri ia pahala yang besar.)
(Tafsir Jalalyn QS. An Nisa: 74)


Dalam An Nisa ayat 72 disebutkan ada orang yang berlambat-lambat dalam berjihad—bahkan maksudnya mereka tidak ikut berjihad, menurut Muqatil Ibnu Hayyan—merekalah golongan orang-orang munafik.


Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah Ibnu Ubay Ibnu Suhail—na’dzubillah—ia enggan ikut berjihad—dalam konteks ayat 72 surat An Nisa ini jihad dalam bentuk perang—dan juga menghalang-halangi orang lain untuk berjihad, demikian pendapat Ibnu Juraij dan Ibnu Jarir.


Terlepas dari perintah perang—sebagai salah satu bentuk jihad—dalam An Nisa ayat 74 di atas, hal yang juga perlu kita cermati dari ayat tersebut adalah ganjaran bagi orang yang berjihad—berjuang—di jalan Allah. Apakah ‘fa-yuqtal’—maka ia terbunuh—maupun ‘aw-yaghlib’—atau ia memperoleh kemenangan, maka nanti akan kami beri ia pahala yang besar.


Allah Asy- Syakur, bukan hanya jika berjihad lalu menang maka kemudian mendapatkan pahala, tetapi terbunuh pun sama halnya. Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin.


Seperti halnya tawa dan tangis, suka dan duka, pahit dan manis, gelap dan terang, lapang dan sempit, nikmat dan musibah, senang dan susah, setiap insan selalu digilirkan dari dua keadaan itu. Dan masing-masing tidak ada yang berkekalan. Jika kau rasa suka hari ini bisa jadi esok hari duka yang kau dapat. Tangis tak tertahankan hari ini bisa jadi esok hari tawa menantimu. Masing-masing dari kedua hal yang kontradiktif itu adalah ujian. Jika kau pikir kesulitan adalah cobaan, maka kemudahan pun demikian.


Jadi janganlah terjebak dalam tawa dan tangis, suka dan duka, pahit dan manis, gelap dan terang, lapang dan sempit, nikmat dan musibah, senang dan susah, kita mestinya melampaui rasa-rasa dan keadaan itu. Betapa beruntunng jika kita mampu menyikapi rasa-rasa dan keadaan itu dengan sabar dan syukur.

عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin,” sabda sang Nabi sebagaimana diriwayatkan Muslim, “semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.”


Demikian halnya dakwah di jalan Allah. Banyak pengikut atau sedikit, diterima atau ditolak, bukanlah jadi acuan. Jalan dakwah memang selalu penuh hambatan, sejak dahulu selalu begitu. Pengikut dakwah memang hanya sedikit, sejak dahulu senantiasa demikian. Dakwah memang sering ditolak, sebab hidayah hanyalah milik Allah. Sekali lagi kita mestinya melampaui rasa-rasa dan keadaan itu. Betapa beruntunng jika kita mampu menyikapi rasa-rasa dan keadaan itu dengan sabar dan syukur. Diterima atau ditolak dakwah itu, seorang da’i sudah mendapat pahala dari Allah, insya Allahu ta’ala.


Apakah menang dalam perang tidak penting? Tentu saja menang dalam perang adalah keberuntungan yang besar. Namun terbunuh dalam perang pun bukanlah kehinaan, melainkan ia adalah sebuah kemuliaan; syahid. Bahkan banyak para pemburu syahid yang berperang dan berharap Allah mewafatkan mereka dalam perang itu.


Apakah tawa, suka, manis, terang, lapang, nikmat, dan senang tidak perlu? Tentu saja jika kita mendapatkan semua itu sungguh kita memperoleh karunia yang besar. Namun tangis, duka, pahit, gelap, sempit, musibah, dan susah pun bukanlah sebuah cela. Seseorang yang dibukakan pintu 
hikmah oleh Allah kepadanya, maka sungguh dia akan ridha dengan setiap keadaan.


Diterima dalam dakwah, memiliki banyak pengikut, bukankah hal tersebut patung diperjuangkan? Tentu saja jika dakwah kita disambut, dan pengikut berbondonng-bondong menyertai, sungguh kebahagiaan yang tak terkira. Namun sekali lagi ditolak dan belum diterima pun bukanlah sebuah kejelekan. Mungkin Allah masih hendak menguji kadar jihad dan kesabaran kita. Menguji keikhlasan dan keistiqamahan kita.


Menang atau terbunuh dalam perang, Senang atau susah dalam hidup, diterima atau ditolak dalam dakwah, semua itu adalah kebaikan bagi seorang mukmin.


Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin!


Tentu saja semua itu menjadi kebaikan jika dibingkai dengan keikhlasan. Ah, betapa betapa sulit menjadi ikhlas. Bahkan ikhlas pun masih lagi membutuhkan keikhlasan. Pun jika kita sudah ikhlas, masih ada satu hal lagi yang akan dipertanyakan: keistiqamahan.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "RABB KAMI IALAH ALLAH," kemudian mereka BERISTIQAMAH maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita." (Al Ahqaf: 13)


Allahummarzuqna al-Istiqamah fi al-‘Ibadah.
Duhai Allah, rizkikan kepada kami istiqamah dalam ibadah.

Allahu a'lam.



yusrikombih, Depok

HADIS­_Jakarta

Visitor

free counters

Copyright @ 2013 صاحب القرآن.