My Expriences at Lasenas VII (1)
Oleh : Yusri Kombih
“Huuuh… dingiiin,” gumamku, saat mobil yang kutumpangi melesat cepat menuju Medan (Sumatera Utara). Dingin malam terasa menusuk-nusuk tubuhku. Saat itu tanggal 12 agustus 2009, sekitar pukul 21:30 WIB, aku berangkat dari Subulussalam. Aku berangkat ke Medan dengan tumpangan mobil teman-temanku yang berangkat dari Tapaktuan yang juga menuju Medan. Aku berangkat bersama mereka karena kebetulan mereka akan melintasi Subulussalam saat menuju Medan. Lagi pula kami memiliki tujuan yang sama, yaitu menuju Lasenas (Lawatan Sejarah Nasional) yang ke-7, yang akan diselenggarakan di Sulawesi Utara, Manado.
Lawatan Sejarah merupakan suatu kegiatan perjalanan melawat situs-situs sejarah (a trip to historical sites) yang merupakan simpul-simpul orientasi nilai-nilai perjuangan dan persatuan untuk memeperkokoh intergritas bangsa. Lawatan sejarah dijadikan sebagai suatu kegiatan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan menjunjung tinggi nilai agama, adat istiadat, pandangan hidup masyarakat yang berdemokrasi, serta untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam perjalanan ini siswa tidak hanya diberikan pendidikan sejarah melali teks book tetapi langsung dibawa ke tempat-tempat bersejarah unruk melihat lansung dan memahami makna apa yang terkandung di balik adanya suatu peninggalan sejarah. Seperti pada bulan mei lalu, aku, Tomi Perisa, Saiful Bahri, Ikhwan Rezeki, dan Pak Ruslan S.Pd sebagai yang merupakan siswa dan guru dari SMANSA Simpang Kiri Kota Subulussalam berkesempatan mengikuti Lawatan Sejarah tingkat Daerah di pesisir barat Aceh, yakni Aceh Singkil, Subulussalam, dan Aceh Selatan. Di Aceh singkil kami mengunjungi cukup banyak peninggalan sejarah, seprti Makam Tuan Tampat, Rumah Raja, Makam Syek Abdurrauf. Di Subulussalam kami mengunjungi Makam Sekh Hamzah Fansury. Sedangkan di Aceh Selatan kami melawat ke banyak tempat, seperti Makam Teuku Cut Ali, Makam Tuan Tapa, Benteng Trumon, Panorama Hatta, Makam Syekh Muhammad Wali Al-Khalidi, di Pesantren Darussalam Labuhan Haji, dan lain-lain.
Lawatan Sejarah Daerah (Laseda) telah dilaksanakan sebanyak tujuh kali. Sedang yang Lawatan Sejarah Daerah kali ini adalah yang ke-8 kalinya. Dan aku mendapat menjadi salah satu peserta terbaik dan mendapat kesempatan untuk mengikuti Lawatan Sejarah Nasional yang ke-7.
Aku merupakan salah satu dari sembilan peserta yang mewakili Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh – Sumut, untuk mengikuti Lasenas VII di Manado, yang terdiri dari Bapak Rizal Amri Nasution yang merupakan guru SMANSA Teluk Mengkudu Sergei, Riskan Fitrah yang merupakan siswa SMANSA Singkil, T. Raja Maskahar, Aidil Syawani, Sabila Desvi (Opie), Trisna Mauli Rahmita (Ienha), Alyani Akramah Basar dan ada dua orang lagi yang namanya belum kukenal. Mereka siswa SMA Unggul Tapaktuan juga. Tapi aku belum sempat berkenalan dengan mereka. Sementara aku merupakan seorang siswa dari SMANSA Simpang Kiri, Kota Subulussalam. Selain dari kesembilan peserta itu, kami juga berangkat ditemani oleh bapak dan ibu pembimbing, yang akan menemani kami ke Lasenas.
Malam semakin larut, sementara mobil yang kutumpangi terus saja melesat dengan cepat, angin malam yang begitu dingin terus saja menusuk-nusuk tubuhku, bulu roma di sekujur tubuhku seakan berdiri memaku. Perutku terasa mual, kepalaku juga ikut mual, eh…! maksudnya pusing, sepertinya aku masuk angin. Aku mencoba bertahan dalam keadaan seperti itu, namun rasanya aku tak sanggup. Akhirnya aku berpikir untuk mengusapakan minyak angin ke perut dan kepalaku, mungkin bisa sedikit menghilangkan rasa mual di perut dan pusing di kepalaku. Tapi sayang, minyak angin yang sebelumnya sudah kusiapkan tersimpan di ranselku, sudah tersusun rapi di bagian belakang mobil, terlalu merepotkan untuk meraihnya. Aku terus menahan rasa mual dan pusing itu sembari berpikir apa yang harus kulakukan, akhirnya aku mendapat ide, bagaimana kalau aku mendengarkan musik saja dari handphoneku, barang kali dengan mendengar musik bisa sebagai pengganti dari minyak angin, dan mengurangi sedikit rasa mual dan pusingku. Lagi-lagi sayang, ternyata headsetku juga tersimpan di ransel, tidak mungkin aku mendengar musik di mobil tanpa headset. Akhirnya aku mencoba pasrah saja.
“Sungguh awal pejalanan yang menyedihkan, begitu lengkap penderitaanku,”desahku dalam hati.
Aku terus saja terdiam. Kusimpan derita ini sendiri, aku teringat dengan salah satu firman Allah dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan”. Aku juga teringat dengan kata-kata kakekku yang pernah memberiku nasehat, “Jika engkau merasa hidup ini pahit, maka usahakanlah agar lebih pahit lagi, karena di balik kepahitan itu ada rasa manis yang menunggu.” Jadi, kalau berdasarkan firman Allah dan petuah dari kakekku tadi, sejatinya aku merupakan orang yang beruntung,. Memang kalau dipikir-pikir itu memang lucu, mana mungkin seorang yang sedang merasakan mual dan pusing disebut orang yang beruntung. Tapi hal ini agaknya bisa dijawab dengan logika, bukankah setelah seorang ibu di saat mengandung merasakan kelelahan dan keletihan selama sembilan bulan akan merasakan kebahagiaan yang sangat luar biasa saat si buah hati lahir? Bukankah setelah malam yang begitu gelap akan terbit mentari yang begitu terang ? Bukankah setelah hujan yang turun menerpa akan tercipta pelangi yang begitu indah ? Dan begitu banyak contoh-contoh yang lainnya. Akhirnya aku termotivasi, semangatku kembali bangkit, aku yakin derita ini pasti akan berakhir dengan bahagia, karena Aku yakin Allah Al-Hakim sang pemilik Hikmah pasti mempunyai rahasia yang Mahaindah di balik ini semua.
***
Malam terus saja menghitamkan langit, angin malam yang masuk dari kaca pintu supir yang terbuka lebar terus saja menampar-nampar wajahku, deritaku belum juga usai. Kami berangkat dengan mengendarai dua buah mobil. Sesekali aku melirik ke belakang, di jok mobil barisan belakang ada dua orang perempuan yang jujur saja aku sama sekali belum tau nama mereka, sepertinya di sepanjang berjalanan mereka hanya terlelap tidur. Di depan, di jok paling depan ada dua orang bapak-bapak, yang satu merupakan pak supir yang dengan lihai jari-jemarinya terus saja memain-mainkan setir mobil, sementara bapak yang satunya lagi terus saja menemani pak supir mengobrol di tengah larutnya malam, mungkin kalau diperhatikan dengan seksama mereka telah membahas topik pembicaraan mulai dari A sampai Z. Sementara aku, duduk di barisan jok mobil bagian tengah, aku duduk di jok paling kanan di dekat pintu, di sebelah kiriku ada Alya yang kelihatan asyik mendengarkan musik dari headsetnya, dan di sebelah kiri Alya ada bu Nelis yang sesekali juga ikut mengobrol dengan bapak-bapak yang duduk di depan. Sedangkan di dalam mobil yang satunya lagi ada Ienha, Opie, Aidil, Raja dan beberapa orang lainnya.
Aku masih saja terdiam, entah apa yang aku pikirkan. Perutku yang masih saja mual dan keplaku yang juga masih pusing membuat otakku seperti sulit berpikir. Sesekali Alya yang duduk di sebelah kiriku mulai mengajak berbicara, tapi aku hanya menjawab singkat pembicaraan itu. Aku merasa enggan untuk ngobrol panjang lebar, karena aku memang belum kenal baik dengannya, lagi pula mual dan pusingku seperti memusnahkan semua file-file di otakku, sampai-sampai aku sama sekali tidak punya bahan obrolan.
Sebenarnya selama di perjalanan aku berkali-berkali buang angin, bahasa kasarnya kentut. Tetapi syukurlah sepertinya tidak ada yang terganggu dengan aroma gas alami itu, soalnya sama sekali tidak ada yang protes, bahkan Alya yang duduk di sampingku sama sekali tidak tahu, apa lagi yang di belakang yang terus molor.
Mobil itu terus melaju. Ban mobil yang sebelah kiri dan yang sebelah kanan terus saja berlomba-lomba berlari ke depan, namun kami belum juga sampai. Aku tak bisa tidur, meski kupaksa kelopak mataku menutup, tetap saja tak bisa. Setelah begitu lama dalam perjalanan, akhirnya kami berhenti juga, kupikir kami telah sampai di tujuan, ternyata belum. Kami berhenti di RM Muslim Bandar Baru, di sana kami berhenti untuk menunaikan shalat shubuh, karena pada saat itu waktu shalat shubuh telah tiba. Setelah kami usai shalat shubuh, kami langsung melanjutkan perjalanan.
Dan tak lama kemudian kami pun akhirnya tiba di Gentala Hotel di Jl. Rahmadsyah Medan sekitar pukul 06:00 WIB. Setiba di hotel aku tak buang waktu lagi. Barang-barang diturunkan dan aku lansung masuk ke dalam hotel, di sana aku bertemu dengan Risqan, Pak Rizal, peserta siswa dan guru yang sudah menginap di hotel sejak kemarin. Begitu jga Bang Piet yang merupakan sekretaris BPSNT Banda Aceh, sejak kemaren juga sudah tiba di hotel itu. Kemudian aku lansung masuk ke kamar, tanpa tunggu lama-lama aku langsung mandi, melepaskan kepenatan selama semalaman terkurung di dalam mobil. Selepas mandi aku kembali mengenakan pakaian yang tadi aku pakai, sambil menatap ke cermin aku merapikan rambutku, sap…sap…sai, selesai !, “Hmmm… segaaaaaarrr…!,” gumamku.
Setelah mandi ternyata aku tak punya waktu untuk berhenti meski untuk sejenak, aku lansung dipanggil untuk sarapan pagi bersama. Akhirnya aku pun ikut menurut saja. Sarapan pagi yang begitu indah. Penuh keakraban dan kebersamaan. Sembari diselingi canda dan tawa di antara sesame peserta. Dan akhirnya aku pun mengenal, ternyata dua orang siswi yang duduk di barisan jok mobil bagian belakang tadi malam namanya adalah Fifin dan Widya. Di tengah indahnya sarapan pagi itu kami terus saling bersenda gurau dan bercanda tawa, dan kami pun saling tukar nomor handphone. Setelah sarapan pagi usai kami langsung menuju Bandara Polonia, Medan. Awal perjalanan yang melelahkan, tapi menyenangkan.
Bersambung…_
Jumat, 08 April 2011
Filled Under:
Lasenas VII
My Expriences at Lasenas VII (1)
Posted By:
Yusri Kombih
on 20.07
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar