Apa-apaan ini? Gak ada
judul lain? ‘Bahtera Cinta?’ Kenapa gak ‘bahtera keluarga’ aja sekalian!?
Ssssh… sudahlah. Don’t
judge a book by its cover artinya jangan lihat tulisan dari judulnya. Ups!
Ehem, ehem, ini yang
serius.
Kulihat kau lelah kawan,
mungkin ada baiknya jika kau rehat sejenak, toh hidup tak mesti terus berlari.
Adakalanya pilihan terbaik adalah diam menekuri diri serta menata hati sambil
menanti hati menginsyafi.
Mungkin kau lihat bahtera
ini reyot, jangankan berlari jalannya pun morat marit. Barangkali kau lihat
bahtera ini nyaris karam, jangankan maju bertahan pun mengkhawatirkan. Ya,
mungkin. Ya, barangkali.
Namun jika berkenan, tak
ada salahnya kau tambal sedikit jika memang ia berlubang. Tak ada celanya kau
kuras sedikit airnya jika ia memang nyaris karam.
Sudah berapa lama kau
berlayar di kapal ini kawan? Sudah terlalu lama kah? Manusiawi memang jika kau
lelah. Nabi Yunus pun pernah lelah. Ia tinggalkan kaumnya dalam gusarnya. Ia
pergi dengan bahtera, namun justru ia tak diizinkan pergi lantaran bukan
berlayar dengan cinta melainkan dengan amarah. Amarah tak berguna dalam cinta,
ia hanya menenggelamkan dalam gelap. Nabi Yunus akhirnya tenggelam dalam ‘zhulumatun
tsuluts’ (tiga kegelapan); gelap malam, gelap lautan, gelap perut ikan. Ia
ditelan ikan raksasa, kawan. Ah! Mengapa kuceritakan ini, toh kau pun pasti
sudah tahu kisahnya.
La ilaha illa Anta
subhanaka inni kuntu min azh-zhalimin.
Sudah seratus tahun kah
kau berlayar, kawan? Oh, maaf maaf… mungkin aku terlalu meremehkanmu. Melihat
lelahmu mungkin sudah hampir setara Nabi Nuh kau berkhotbah. Seribu tahun
kurang lima puluh tahun ia berdakwah, namun hasilnya hanya sekelumit manusia
yang menjadi umatnya. Ah, kawan! Benar katamu, apa untungnya jika sudah begitu
lama hanya segelintir manusia yang merespon? Tak berguna.
Dalam
‘ketidakber-untung-an’ itu ternyata Nabi Nuh tetap bertahan, kawan. Dalam
bahtera-nya ia terselamatkan serta orang-orang yang membersamainya dalam cinta;
dalam iman.
Tapi ini tidak sah! Tidak
legal! Oh, kawan. Betapa aku setuju denganmu. Zaman sekarang bagaimana mungkin
kita bertahan dalam hal yang tidak sah. Aku setuju kawan. Tapi, ternyata Nabi
kita Muhammad tidak demikian. Dalam hal menyampaikan pesan cinta dari sang
Mahacinta tak mesti dituggui ke-sah-an di mata manusia. Ia bahkan berdakwah
meski diboikot, diasingkan, dan dijadikan buronan. Sudah berapa lama kau
diboikot, diasingkan dan dijadikan buronan, kawan?
Ada baiknya kita melihat
dengan cinta, kawan. Jika saudaramu tidak menemanimu, mungkin di seberang sana
ia mendoakanmu dalam rindu. Jika saudaramu belum lagi membersamaimu, mungkin
nun jauh di sana ia merindukanmu dalam doa.
Ah, tapi mungkin mereka
memang benar-benar tak acuh lagi! Mereka tak cinta lagi. Mereka tak rindu lagi!
Mereka telah lupa!
Baiklah, kawan, mungkin
saatnya kau yang mendokan mereka. Berdoa kepada Rabb sang pemilih hati yang
berada di dada-dada mereka. Semoga mereka sadar dari alpa. Semoga mereka ingat
dari lupa. Mungkin doa lebih baik dari cela. Jika tak terijab kini, tak
masalah pun jika terkabul seribu tahun lagi.
Jalan ini panjang, semoga
kelak ia terus terbentang, bahkan saat kita tak ada lagi di dunia ini.
Kulihat kau lelah kawan,
mungkin ada baiknya jika kau rehat sejenak, toh hidup tak mesti terus berlari.
Adakalanya pilihan terbaik adalah diam menekuri diri serta menata hati sambil
menanti hati menginsyafi.
Ah, kawan, semoga Allah
memudahkan urusanmu. Yassarallahu umurak.
“… Dan Allah yang
mempersatukan hati para hamba beriman. Jika pun kau nafkahkan perbendaharaan
bumi seluruhya untuk mengikat hati mereka, tak kan bisa kau himpun hati mereka.
Tetapi Allah-lah yang telah menyatupadukan mereka…” (Al Anfal:63)
Allahumma yassir wa la
tu’assir.
Allahu a’lam.
yusrikombih, BSD City
0 komentar:
Posting Komentar