Bismillah ar Rahman ar Rahim
فَلْيُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يَشْرُونَ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا بِالْآخِرَةِ ۚ وَمَن يُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَيُقْتَلْ أَوْ
يَغْلِبْ
فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
(Maka hendaklah berperang di jalan Allah) demi untuk meninggikan
agama-Nya (orang-orang yang membeli) artinya menukar (kehidupan dunia
dengan akhirat. Siapa yang berperang di jalan Allah lalu ia gugur) mati
syahid (atau memperoleh kemenangan) terhadap musuhnya (maka nanti
akan Kami beri ia pahala yang besar.)
(Tafsir Jalalyn QS. An Nisa: 74)
Dalam An Nisa ayat 72 disebutkan ada orang yang
berlambat-lambat dalam berjihad—bahkan maksudnya mereka tidak ikut berjihad,
menurut Muqatil Ibnu Hayyan—merekalah golongan orang-orang munafik.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Abdullah Ibnu Ubay Ibnu
Suhail—na’dzubillah—ia enggan ikut berjihad—dalam konteks ayat 72 surat An Nisa
ini jihad dalam bentuk perang—dan juga menghalang-halangi orang lain untuk
berjihad, demikian pendapat Ibnu Juraij dan Ibnu Jarir.
Terlepas dari perintah perang—sebagai salah satu bentuk
jihad—dalam An Nisa ayat 74 di atas, hal yang juga perlu kita cermati dari ayat
tersebut adalah ganjaran bagi orang yang berjihad—berjuang—di jalan Allah.
Apakah ‘fa-yuqtal’—maka ia terbunuh—maupun ‘aw-yaghlib’—atau ia
memperoleh kemenangan, maka nanti akan kami beri ia pahala yang besar.
Allah Asy- Syakur, bukan hanya jika berjihad lalu menang maka
kemudian mendapatkan pahala, tetapi terbunuh pun sama halnya. Sungguh
menakjubkan urusan seorang mukmin.
Seperti halnya tawa dan tangis, suka dan duka, pahit dan
manis, gelap dan terang, lapang dan sempit, nikmat dan musibah, senang dan
susah, setiap insan selalu digilirkan dari dua keadaan itu. Dan masing-masing
tidak ada yang berkekalan. Jika kau rasa suka hari ini bisa jadi esok hari duka
yang kau dapat. Tangis tak tertahankan hari ini bisa jadi esok hari tawa
menantimu. Masing-masing dari kedua hal yang kontradiktif itu adalah ujian. Jika
kau pikir kesulitan adalah cobaan, maka kemudahan pun demikian.
Jadi janganlah terjebak dalam tawa dan tangis, suka dan
duka, pahit dan manis, gelap dan terang, lapang dan sempit, nikmat dan musibah,
senang dan susah, kita mestinya melampaui rasa-rasa dan keadaan itu. Betapa beruntunng
jika kita mampu menyikapi rasa-rasa dan keadaan itu dengan sabar dan syukur.
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ
وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ
فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin,” sabda sang Nabi sebagaimana diriwayatkan Muslim,
“semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak
didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan,
dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya
apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan
kebaikan baginya.”
Demikian halnya dakwah di jalan Allah. Banyak pengikut atau
sedikit, diterima atau ditolak, bukanlah jadi acuan. Jalan dakwah memang selalu
penuh hambatan, sejak dahulu selalu begitu. Pengikut dakwah memang hanya
sedikit, sejak dahulu senantiasa demikian. Dakwah memang sering ditolak, sebab
hidayah hanyalah milik Allah. Sekali lagi kita mestinya melampaui rasa-rasa dan
keadaan itu. Betapa beruntunng jika kita mampu menyikapi rasa-rasa dan keadaan itu
dengan sabar dan syukur. Diterima atau ditolak dakwah itu, seorang da’i sudah
mendapat pahala dari Allah, insya Allahu ta’ala.
Apakah menang dalam perang tidak penting? Tentu saja menang
dalam perang adalah keberuntungan yang besar. Namun terbunuh dalam perang pun
bukanlah kehinaan, melainkan ia adalah sebuah kemuliaan; syahid. Bahkan banyak
para pemburu syahid yang berperang dan berharap Allah mewafatkan mereka dalam
perang itu.
Apakah tawa, suka, manis, terang, lapang, nikmat, dan senang
tidak perlu? Tentu saja jika kita mendapatkan semua itu sungguh kita memperoleh
karunia yang besar. Namun tangis, duka, pahit, gelap, sempit, musibah, dan susah
pun bukanlah sebuah cela. Seseorang yang dibukakan pintu
hikmah oleh Allah
kepadanya, maka sungguh dia akan ridha dengan setiap keadaan.
Diterima dalam dakwah, memiliki banyak pengikut, bukankah
hal tersebut patung diperjuangkan? Tentu saja jika dakwah kita disambut, dan
pengikut berbondonng-bondong menyertai, sungguh kebahagiaan yang tak terkira. Namun
sekali lagi ditolak dan belum diterima pun bukanlah sebuah kejelekan. Mungkin Allah
masih hendak menguji kadar jihad dan kesabaran kita. Menguji keikhlasan dan
keistiqamahan kita.
Menang atau terbunuh dalam perang, Senang atau susah dalam
hidup, diterima atau ditolak dalam dakwah, semua itu adalah kebaikan bagi
seorang mukmin.
Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin!
Tentu saja semua itu menjadi kebaikan jika dibingkai dengan
keikhlasan. Ah, betapa betapa sulit menjadi ikhlas. Bahkan ikhlas pun masih
lagi membutuhkan keikhlasan. Pun jika kita sudah ikhlas, masih ada satu hal lagi
yang akan dipertanyakan: keistiqamahan.
إِنَّ الَّذِينَ
قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ
يَحْزَنُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "RABB KAMI IALAH
ALLAH," kemudian mereka BERISTIQAMAH maka tidak
ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada pula berduka cita." (Al Ahqaf: 13)
Allahummarzuqna al-Istiqamah fi al-‘Ibadah.
Duhai Allah, rizkikan kepada kami
istiqamah dalam ibadah.
Allahu a'lam.
yusrikombih, Depok
HADIS_Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar