Berbicara tentang cinta…
Aku pernah jatuh cinta. Pernah sekali waktu. Meski setengah tak percaya,
tapi cinta tak membutuhkan kepercayaan untuk tumbuh. Ia tercipta tanpa
direkayasa. Meski tetap saja aku setengah tak percaya. Saat itu.
Pasalnya aku pernah tidak percaya pada cinta. Aku percaya bahwa perasaan
cinta hanyalah perasaan orang bodoh yang tak kan pernah menyentuhku. Itu adalah
kepercayaan yang kuanut beberapa waktu. Aku selalu muak pada kata cinta. Aku
memusuhi cinta. Aku membenci cinta. Kau tahu kenapa? karena aku merasa tak kan
pernah merasakannya. Ya. Tak kan pernah!
Kupandangi diriku lekat-lekat. Kutatapi sendiriku dekat-dekat. Kulihati
akuku lekap-lekap. Di bagian mana cinta akan tumbuh pada diriku? Mungkin kah
cinta akan tumbuh di dadaku seperti rerumputan? Atau kah cinta akan berbuah di
perutku lantas bergelayutan? Di mana cinta itu? Aku tak percaya!
Aku menertawakan cinta! Haha.
Aku tak menyalahkan takdir. Tapi takdirlah yang mengenalkanku pada
cinta. Perkenalan yang begitu indah yang tak kusadari pada akhirnya membuatku
tak mengenali diriku sendiri.
Pernah sekali waktu aku jatuh cinta. Sedetik cinta yang akhirnya menyita
seluruh detikku setelahnya. Tentu saja setiap orang pernah jatuh cinta, tapi
saat itu kupikir hanya akulah. Ah, aku terlalu awam tentang cinta. Tentu tak
seperti yang kupikir dalam picikku sebelumnya. Ia tak kan tumbuh bak rumput
atau bergelayut bak buah. Itu terlampau sederhana. Cinta tak sesederhana itu.
Kata mereka orang jatuh cinta, hatinya akan berbunga-bunga. Ya, itu
setengah benar. Tak sepenuhnya. Karena bunga-bunga tak sampai menjelaskan semua
rasa itu. Karena rasa itu ajaib. Ya. Magis.
Pernah sekali waktu aku jatuh cinta. Ya, hari itu. Hari di mana aku
melihat sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku mendengar sesuatu yang
tak pernah kudengar sebelumnya. Aku merasa sesuatu yang tak pernah kurasa
sebelumnya.
Rasa? Rasa apakah itu. Aku tak mampu mendefenisinya.
Aku melihatnya. Sedetik waktu. Bercahaya. Kemerahan. Seperti lampu sorot
yang hanya menerangi si dia, sedang yang lainnya redup saja. Ajaib. (Ini
sugguhan, bukan gaya bahasa!)
Kutundukkan pandanganku. Gahddhul Bashar, itu materi kajian yang masih
kuingat. Kuimani.
Kutundukkan pandanganku. Tapi aku terlambat. Sangat terlambat. Aku
terlambat bahkan sejak lima puluh ribu tahun yang lalu.
Kau bunga yang indah
Biarlah aku melihatmu dari sini
Dari luar pagar taman ini
Kau rembulan yang menawan
Biarlah aku memandangmu dari sini
Dari kerendahan bumi ini
Kau permata yang berharga
Biarlah aku memimpikanmu dari sini
Dari mimpi-mimpi yang menyedihkan ini
Biarlah aku melihatmu dari sini
Dari luar pagar taman ini
Kau rembulan yang menawan
Biarlah aku memandangmu dari sini
Dari kerendahan bumi ini
Kau permata yang berharga
Biarlah aku memimpikanmu dari sini
Dari mimpi-mimpi yang menyedihkan ini
Rasa itu tak butuh waktu panjang untuk tumbuh. Ia lebih ajaib dari
rerumputan yang membutuhkan energi ultraviolet untuk fotosintesinya. Ia lebih
magis dari buah yang memerlukan fase vegetatif untuk pertumbuhan generatifnya.
Ah, rasa itu tumbuh begitu saja. Tak butuh energi. Tak butuh fase.
Ya, rasa itu tak membutuhkan energi dan fase pada masa pertumbuhannya.
Tapi nyatanya seluruh energi tak kan sanggup menggenggam rasa itu. Seluruh fase
tak kan mampu menyudahi rasa itu. Sedetik waku yang pada akhirnya menyita
seluruh detikku setelahnya. Aku terlambat. Aku sangat terlambat. Aku terlambat
lima puluh ribu tahun lamanya.
Pernah sekali waktu aku jatuh cinta. Hingga kini aku tak mampu lepas
darinya.
Mereka mencelaku karena aku jatuh cinta. Padahal cinta bukanlah mauku.
Padahal cinta bukanlah pilihanku. Jika aku bisa memilih, aku akan memilih untuk
tidak jatuh cinta.
Kini… kupandangi diriku lekat-lekat. Kutatapi sendiriku dekat-dekat.
Kulihati akuku lekap-lekap. Aku tak pernah lagi bertaya, “Di bagian mana
cinta akan tumbuh pada diriku?”. Karena bahkan setiap desah nafasku
menjawabnya.
Aku tak pernah lagi meyalahkan cinta. Aku tak pernah lagi menyalahkan
mereka yang jatuh cinta. Karena aku berharap, seseorang di sana tidak akan
menyalahkanku atas cinta ini.
Sekali waktu
Kau menyuapiku dengan segelak tawa
Aku terbahak
Lain waktu
Kau menyulangiku dengan seisak tangis
Aku tersedak
Kini
Di manakah kau?
Kau menghilang tanpa jejak.
Hujan Sore Ini
0 komentar:
Posting Komentar