Oleh: Yusri Kombih
Letih menyeruak. Kucoba biaskan lewat wajahku yang
lelah. Kucoba uapkan lewat napasku yang lemah. Hari yang melelahkan. Pasai. Sejak
tadi pagi dijejali dengan berbagai jenis dan ragam ilmu pengetahuan. Tidak tanggung-tanggung
sepuluh jam mata kuliah—menurutku cukup banyak—hilir mudik di depan kelas,
memaksa otakku untuk mencerna seluruhnya. Kucoba menjaga semangat. Kuingat
lekat-lekat nasehat seorang dosen yang begitu berkesan, “Yang paling mahal dari
dirimu, adalah lelahmu menuntut ilmu!” aku suka sekali kata-kata itu.
Petang merayap. Mentari kian condong ke barat. Aku
harus pulang. “Pulang—lansung mandi—terus sholat—lalu makan—kemudian
tiduuur—amboi… nikmatnya,” khayalku. Metode yang aneh untuk mengobati lelah.
Kukumpulkan seluruh tenagaku yang masih tersisa.
Dengan langkah gontai kuhampiri jalan raya, menanti angkutan. Tidak berapa lama sebuah angkot telah
berhenti di depanku. Entah aku yang memintanya berhenti atau ia sendiri yang
berhenti untukku. Entahlah. Tapi sepertinya aku dan supir angkot itu telah bersekutu. “Simbiosis mutualisme,” pikirku.
Tanpa berpikir panjang aku langsung masuk ke dalam angkot menuju tempat duduk yang masih
kosong. Mungkin karena letih, kupikir aku akan tertidur di angkot. Seperti hari yang sudah-sudah.
Oh, tidak. Ada yang lebih menggangguku ketimbang letihku.
Mengganggu imanku, sepertinya. Persis di hadapanku, seorang wanita seksi ber-rok
mini tersenyum memandangiku. Lekukan betis dan pahanya terang-terang diobral
gratis kepada siapa saja yang mau melihat. Entah apa yang terjadi dengan
makhluk yang satu ini, sesekali kelopak matanya sebelah kiri berkedip padaku.
Nakal. Jangan-jangan... ah, entahlah. Mungkin wanita ini setengah gila. Ah… tidak bisa dibiarkan.
Aku tidak sanggup dalam kondisi ini. Darah mudaku mendidih. Detak jantungku
meledak-ledak. Aku tak tahan.
“Pandangan pertama adalah rezeki, tetapi pandangan
selanjutnya adalah musibah!” ujar salah seorang temanku tempo waktu. Agaknya
ucapan temanku itu memang benar, tapi kondisiku saat ini benar-benar berbeda
‘pemandangan’ itu ada di depan mataku memenuhi pandanganku. Menggoda pula.
Lagi pula dalam realita, ujaran temanku itu jarang
terindahkan. Biasanya, “Pandangan pertama adalah rezeki, dan pandangan
selanjutnya adalah harta karun,” sesat.
“Kiri!” pintaku pada supir angkot. Seketka itu angkot
berhenti dan aku bergegas turun. Aku tahu tujuanku belum sampai. Tapi aku harus keluar dari
tempat ini. Menyelamatkan sisa imanku.
Kulangkahkan kakiku yang semakin lunglai. Sebuah metro
mini berhenti, meminta untuk kunaiki. Aku menurut saja. Oh… sial! Aku keluar
dari sarang semut masuk ke sarang ular. Jika di angkot tadi ada seorang wanita yang setengah gila, di metro mini
ada banyak orang yang gila total. Beberapa wanita berpakaian sesukanya. Buah
dadanya seakan
ingin meloncat begitu saja keluar, mungkin terlalu sesak di dalam. Rok mininya
malah lebih parah dari yang di angkot.
“Kiriii…!” terikakku. Aku melesat keluar dari metro mini itu.
Di ujung, tampak halte bus. Kulangkahkan kakiku ke sana.
Kuacuhkan lelahku, aku berlari. Tanpa menunggu lama, bus yang diharapkan
datang. Aku masuk.
Oh, shit!!! Di bus ini lebih gawat ternyata. Semua
penumpangnya wanita. Ada yang memakai hijab, itu pun nenek yang sudah ‘ujur di
ujung sana. Sepertinya pakaian tertutup khusus tujuh puluh tahun ke-atas. Wanita-wanita
yang masih muda sepertinya tidak mau kalau kecantikannya ditutupi.
“Kecantikan dan keseksian itu untuk diperlihatkan…,
sayang kalau diumpetin!” mungkin itulah kata-kata yang ingin mereka katakan. Wanita-wanita
dengan pakaian tak senonoh itu duduk dan berdiri sekenanya. Angkutan ini tak
ubahnya seperti kamar mandi, wanita-wanita itu berpakaian seadanya. Tak peduli
aurat yang terbuka. Aneh, belum pernah kutemui bus yang penumpangnya perempuan
semua. Apa aku salah masuk? Jangan-jangan ini
adalah bus khusus wanita? Sejak kapan ada seperti itu?
Di halte terdekat. Aku segera bergegas keluar. Aku tak
tahu lagi jalan pulang. Sepertinya aku tersesat jauh dari rute pulang. Aku
keluar dari halte bus.
Ku-stop sebuah taksi. Barangkali tak kan kulihat lagi
iblis berbentuk wanita-wanita itu,” pikirku.
O, Tuhan…! Baru
sedetik aku duduk. Aku kaget. Supir taksinya ternyata seorang wanita. Seksi
pula. Hampir tak berbusana.
“Stoppp!!!” pekikku histeris. Aku keluar dari taksi
dan berlari sejadi-jadinya.
Kuterpaku sejenak, kuperhatikan
lekat-lekat sekelilingku. Di depan sana ada poster iklan dengan gambar besar. Ada gambar wanita
tengkurap di sana. Mirip ikan paus yang baru ditangkap nelayan sehabis
melaut, tanpa
baju. Di sebalah kananku ada sebuah mall, di sana wanita semua. Dan mereka juga berpakaian seperti wanita di poster
itu. Hampir bugil. Di sebelah kiriku ada restoran. Semua pengunjungnya juga
wanita, dan pakaian mereka juga tak jauh berbeda. Sepertinya wanita tidak lagi
membutuhkan pakaian. Wanita, wanita, wanita. Semua yang terlihat adalah wanita.
Dan sialnya wanita itu telah lupa dengan cara berpakaian.
“Apa yang terjadi? Di mana aku ini? Tahun berapa
sekarang??? Hah!!!” jeritku. Aku jijik. Ingin muntah. Muak dengan semua
pemandangan itu.
Aku berlari dan terus berlari. Peluhku bercucuran. Lelah
tak terperi. Sepertinya semua wanita-wanita telah bersepakat untuk menerorku.
Mereka telah mengkhianatiku. Oh tidak…! Mereka bukan mengkhianatiku, tapi
mereka mengkhianati diri mereka sendiri. Mereka mengkhianati Nabi mereka
sendiri, yang telah mengangkat derajat kaum mereka namun mereka sendiri
merendahkannya. Mereka mengkhianati Tuhan mereka sendiri, yang menjadikan
mereka sebagai wanita, bukannya binatang.
“Duh… wanita,
perhiasan terindah sebenarnya,
Tapi kau nistakan dirimu—tanpa rasa berdosa,
Duh wanita… Cantikmu,
ada pada hijab yang senantiasa menutupi auratmu,” lirihku.
SUBHANALLAH..
BalasHapus