(كوني لؤلؤة نفيسة ولو بين الرمال ~**~ ~**~ كوني زهرة جميلة ولو بين الأعشاب ~**~ (يسري كومبيه ~**~
"Jadilah Sebutir Mutiara Yang Berharga Meski Di Antara Tumpukan Pasir... Jadilah Setangkai Bunga Yang Indah Meski Di Antara Tumbuhnya Rerumputan..." (Yusri Kombih)

Selasa, 01 Januari 2019

Filled Under:

Cerita Carita




Ini bukanlah pengalaman yang indah untuk dikenang, bahkan bagi sebagian orang meninggalkan trauma berkepanjangan.



Ini bukanlah kisah yang indah untuk diceritakan, dalam sekejap suasana tenang berubah menjadi menakutkan.



Senja itu (22/12/18) di pantai Carita, aku dan rekan-rekan masih disuguhi keindahan pantai; debur ombak; desau angin; dan matahari sore yang perlahan kian tenggelam di lautan. Tak lupa, aku dan beberapa rekan mengabadikan momen itu dengan kamera smartphone.


"Amsainaa wa-amsa al-mulku Lillaah," status terakhirku di WhatsApp menjelang Maghrib hari itu.


Maghrib tiba, kami berdiri bershaf menghadapkan wajah dan hati kami kepada Dzat Maha Pencipta langit & bumi; yang menciptakan keindahan alam yang sore itu kami takjubi.


Aku membaca Ayat Kursiy pada shalat Maghrib, diteruskan dengan dua ayat setelahnya. Ayat yang bercerita tentang Allah; yang tiada Ilah melainkan Dia; Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri; Tak kan menyentuh-Nya kantuk apalagi tidur. Dan, Allah lah Pelindung bagi orang berkeyakinan, yang menuntun mereka keluar dari gelap menuju terang.


Kami lanjutkan jamak taqdim dengan Isya. Kulanjutkan membaca tiga ayat akhir dari surat Al Baqarah. Ayat jaminan dari Allah, bahwa beban ujian tidak akan pernah melampaui kesanggupan; Namun demikian, "Ya Allah, jangan bebankan bagi kami yang kami tak kuasa memikulnya."


Nun jauh di seberang sana, tampak Anak Krakatau menyala seperti onggokan arang merah dijilati api. Kian gelap malam, kian tampak jelas menyala.



Detik, menit, dan jam berlalu. Beberapa rangkaian acara yang kami lakukan di cottage (yang hanya berjarak belasan meter dari bibir pantai) telah usai.


Malam itu sepertinya telah melewati pukul 21. Acara bebas, semua dipersilahkan malakukan kegiatan masing-masing. Beberapa rekan berkelompok di halaman cottage dekat pantai. Yang lainnya berkelompok di teras cottage yang menghadap pantai. Sisanya, termasuk aku, berkelompok di ruang tengah cottage. Berbincang-bincang sambil meneguk secangkir kopi.


Saat itu, aku mendengar suara gemuruh yang menderu, seperti angin badai dan ombak air yang saling bergulung, aku pikir itu hanya angin dan ombak biasa.




Tiba-tiba rekan-rekan yang berada di luar halaman dekat bibir pantai berseru-seru. Berlarian ke teras cottage. Kami yang ada di ruang tengah langsung ikut keluar, menuju teras yang menghadap pantai. Penasaran.


Ternyata, suara gemuruh tadi, adalah ombak yang di luar kebiasaan, ombak yang biasanya hanya pecah dipinggir pantai, saat itu menghambur membanjiri halaman.


Saat itu, hampir seluruh kami (laki-laki) ada di teras itu. Menatapi ke arah laut. Seakan semua bertanya-tanya, "Ada apa ini?", "Apa yang terjadi?". Tapi tidak ada yang punya jawaban.


Di seberang laut sana tampak sepi, gelap, aku baru sadar nyala Anak Krakatau yang tadinya tampak jelas telah lenyap, seperti ditelan sesuatu. Sesaat tidak ada gerakan. Tidak ada suara. Hening.


Selang beberapa detik. Suara gemuruh itu datang lagi, kian lama suara itu kian mendekat. Aku dan yang lainnya seperti memandang satu sama lain. Bingung. Aku mengira, suara itu sama saja seperti sebelumnya, ombak yang akan membanjiri halaman.


Sebenarnya, kami tidak yakin ada apa di sana, karena jarak pandang yang terbatas. Hanya menerka-nerka.


Tapi, keadaan berubah mencekam. Saat tiba-tiba suara itu kian menyeramkan. Di hadapan kami tampak ombak raksasa setinggi atap terus mendekat dengan cepat. Kami seakan terpaksa mendongak untuk melihatnya. Kami terjebak.



Ombak raksasa setinggi atap di depan mata. Takut. Kaget. Panik. Bingung. Heran. Semua rasa itu bercampur menjadi satu. Takut, karena ombak itu tinggi sekali. Kaget, karena ombak itu tiba-tiba sekali. Panik, karena kami belum punya rencana bahkan seakan belum percaya. Bingung, karena suasana yang menjepit. Heran, karena sama sekali tak terbayangkan.


Detik itu juga, dengan insting untuk menyelamatkan diri, kami berbalik bergegas berlarian. Aku tidak bisa berbuat banyak, berlari dari ombak raksasa yang menerjang dari belakang, rasanya seperti anak ayam yang berlari dari cengkeraman hewan buas.


Saat berlari melewati ruang tengah cottage hingga posisiku berada di pintu menuju yang menghadap daratan (masih terus berlari) aku mendengar suara ombak yang kian mendekat, menelan apapun yang ada di depannya. Kudengar suara, "Kraak... Kraaaaak... Kraaaaaaaaaak...", sepertinya atap, dinding, tiang, dan seluruh bagian cottage tempat kami dilumat habis oleh ombak raksasa itu. Detik itu juga, aku ikut tergulung.


Seperti mimpi buruk, tapi itu adalah kenyataan. Nyata sekali.




Seperti mimpi buruk, tapi itu adalah kenyataan. Nyata sekali. Aku tergulung, terhanyut, tenggelam di daratan, berdesakan dengan puing-puing, tergores, tersobek, terbentur, oleh entah apa saja.


Beberapa detik di bawah gulungan ombak itu, aku masih bisa menahan nafas, sambil berusaha naik ke permukaan. Sekali. Dua kali.Tiga kali. Empat kali. Lima kali. Enam kali.Tujuh kali. Seakan tak henti-henti aku mencoba, namun permukaan tak kunjung kutemukan. Aku masih tenggelam. Sepanjang itu rasanya seperti dikuliti hidup-hidup. Perih.


Nafas tercekat. Sesak. Air, pasir, dan krikil, mulai masuk ke saluran pernafasan. Aku masih belum juga muncul ke permukaan.


Saat itu, aku tidak lagi berharap banyak. Kupikir, "Inilah akhir." Kupikir, "Inilah maut." Kupikir, "Aku akan menuju alam selanjutnya." Kupikir, "Inilah waktuku pulang." Terbayanglah wajah orang-orang kucintai. Tampak jelas wajah-wajah mereka. "Ya Allah, kutitipkan orang yang kucintai pada-Mu."


Sejenak, waktu seperti melambat. Bahkan seakan berhenti.


Tiba-tiba, "Hhhhhhhhah." Kepalaku muncul ke permukaan. Aku menarik nafas panjang. Memuntahkan air, pasir, dan krikil yang sempat tertelan. Saat itu juga, kakiku langsung menjejak tanah. Aku bergegas melawan arus air melewati bangunan dan bus di kiri kananku, air mulai mendangkal, aku duduk di atas puing-puing kayu.


Tubuhku gemetar kedinginan dan kesakitan. Kakiku rasanya tidak bisa dilangkahkan. Wajahku penuh darah. Sekujur tubuhku rasanya remuk. Aku meringis kesakitan.


Aku tatapi sekitar. Gelap. Listrik padam bersamaan dengan datangnya gulungan ombak tadi.


Rasanya aku seperti terlempar ke dunia lain. Suasana sangat kacau. Berantakan. Aku hanya mendengar jeritan perempuan, tangisan anak-anak, dan alarm mobil yang bertumpuk dengan puing bersahut-sahutan. Tubuh-tubuh tak bergerak tergeletak bergelimpangan. Aku tak tahu, itu masih hidup, atau, entahlah.


Aku bahkan seperti belum percaya apa yang baru saja terjadi, "Apakah ini mimpi?" Darah yang mengalir dari luka di sekujur tubuhku memberikan jawabannya. Ini nyata. Sangat nyata.


Ini bukanlah pengalaman yang indah untuk dikenang. Bukan pula kisah yang indah untuk diceritakan. Bahkan merasakannya sendiri jauh lebih menakutkan.


Semoga ada hikmah dan 'ibrah dari semua kejadian ini.


Allaahuma ajurnii fii mushiibatii wakhluflii khairan minha. Aamiin.

0 komentar:

Posting Komentar

Visitor

free counters

Copyright @ 2013 صاحب القرآن.