(كوني لؤلؤة نفيسة ولو بين الرمال ~**~ ~**~ كوني زهرة جميلة ولو بين الأعشاب ~**~ (يسري كومبيه ~**~
"Jadilah Sebutir Mutiara Yang Berharga Meski Di Antara Tumpukan Pasir... Jadilah Setangkai Bunga Yang Indah Meski Di Antara Tumbuhnya Rerumputan..." (Yusri Kombih)

Kamis, 12 Agustus 2010

Filled Under:

KutemukanSyurga dalam Senyumanmu

KutemukanSyurga dalam Senyumanmu

Oleh:Yusri Kombih




"Hidup ini sungguh tidak adil.Oh...siapakah yang menjadikan hidup ini? Tuhan??? Allah??? Berarti Allah itu tidak adil, Allah benar-benar tidak adil...!" Pikiran itu terus berkecamuk di otaknya, seakan tak pernah lepas dari benaknya. Ia merasa hidup ini sungguh tidak adil, ia juga merasa yang menjadikan hidup ini tidak adil.



Bagaimana tidak, ia sama sekali tidak tau siapa gerangan yang melahirkannya ke dunia ini. Sejak kecil ia tidak pernah bertemu dengan orang tuanya. Sejak kecil ia tidak pernah merasakan dekapan dankasih sayang seorang ibu, itu pun kalau ia dilahirkan dari seorang ibu, karenaia sering berpikiran, jangan-jangan ia terlahir dari bongkahan batu, atau mungkin dari onggokan sampah, atau barangkali dari kubangan lumpur. Ia berpikirbegitu karena sejak kecil tak sekali pun ia bertemu dengan oarang tuanya, dania merasa tidak ada yang mencarinya, bahkan ia merasa jangan-jangan ia terlahirkedunia ini tanpa ada yang menginginkannya, hingga orang tuanya tidak pernah berusaha mencarinya.



Ia benar-benar merasa hidup dan yang menjadikan hidup ini benar-benar kejam, tidak adil. Orang-orang dilahirkan dariorang tua yang jelas, mereka bisa merasakan indahnya kasih sayang dari orangtua. Sementara ia, sejak kecil ia hanya dibesarkan di panti asuhan.Orang-oranghidup dengan kemewahan, mereka hidupeengan kebutuhan yang cukup, dan semua yang mereka inginkan dapat terpenuhi. Tetapi ia, selama ini ia hidup dalam penderitaan dan serba kekurangan. Orang-orang dapat merasakan nikmat duduk dibangku sekolah, mereka dapat mengecap manisnya dunia pendidikan. Sementara ia,jangankan sekolah, makan saja sulit. Mereka dapat merasakan masa kecil yang menyenangkan, bermain dengan ceria, bermain dengan tawa. Sementara ia hanyadengan tangisan dan duka, masa kecil yang benar-benar suram.



"Mengapa Tuhan menjadikan kaya dan miskin?

Mengapa Tuhan menjadikan mudah dan sulit?

Mengapa Tuhan menjadikan bahagia danderita?

Mengapa Tuhan menjadikan senang dansensara?

Mengapa Tuhan pilih kasih???

Tuhan, Kau benar-banar tidak adil!!!"Hatinya terus menggerutu, jiwanya terus berontak, seakan tak terima. Sejakkecil ia memang tidak pernah akur dengan Tuhan, ia selalu merasa tidak damaiketika mendengar bahwa Tuhan itu Mahaadil, Maha Pengasih, Maha Penyanyang,karena baginya itu semua bohong belaka.

"Kalau memang Tuhan itu Mahaadil, MahaPengasih, Maha Penyayang, mana buktinya???

Apa Tuhan buta? Sehingga Ia tidak melihatkeadaanku yang seperti ini???

Apa Tuhan itu tuli? Sehingga Ia tidakmendengar rintihan dan tangisanku setiap saat???

Atau mungkin Tuhan itu tidak ada samasekali???

Apa Tuhan hanya ada dalam khayalan merekasaja???

Ah...! Sudahlah. Tuhan itu ada atau puntidak ada, aku tidak peduli, itu tidak berpengaruh bagiku, aku tidak butuhTuhan, Aku benci Tuhan." Gumamnya setiap saat, ia benar-benar telah meragukanadnya Tuhan.


***




Siang itu, sinar mentari sepertimemanggang bumi. Lelah, lapar, dahaga, sudah menjadi makanannya sehari-haribaginya. Seperti biasa, di tengah hiruk pikuk perkotaan, di tengah kemacetankota yang begitu melelahkan, ia berjalan dengan pakaian usang dan kumuhnya,tampak dari wajahnya semburat kelelahan, kulitnya yang hitam pekatmengisyaratkan betapa menderitanya hidupnya, dan sorotan mata tajamnya menyiratkanpenderitaan yang amat sangat yang dialaminya selam ini.



Ia berjalan dengan menenteng sebuah gitarderitanya, ya...gitar derita, karena gitar itulah yang selama ini menemaninyadalam deritanya. Gitar itu adalah satu-satunya hartanya yang paling berharga,dan dengan gitar itulah ia sering melantunkan nyanyian-nyanyian ceria untukmenghibur hatinya yang lara. Ia memang sering memainkan gitar, ia memang seringmenyanyikan lagu-lagu, tapi ia bukanlah artis, penyanyi atau pun anak band.Tapi ia hanyalah seorang pengamen jalanan, yang namanya pengamen jalananya...hidupnya di jalanan, hidup penuh dengan beban, hari-hari dilewatinyadengan kesulitan, yang diraasakan hanyalah penderitaan.



Biasanya ia mengamen di kawasan terminal,kadang di warteg-warteg, kadang pula di bus-bus, itulah yang rutinitas hidupnyasetiap hari. Tapi hari ini kebetulan ia mengamen di perempatan jalan, dilampu-lampu merah. Saat lampu merh menyala, mobil-mobil pun berhenti, saatitulah kesempatannya untuk turun kejalanan. Ia mendatangi sebuah mobil mewah,hitam. Dalam pikirannya pasti mobil itu milik orang kaya, ia sangatmengharapkan belas kasihan dari orang-orang kaya itu. Tidak banyak yang iaharapkan dari mengamen, ia hanya berharap bisa mengganjal perutnya yangsejengkal.



Di balik kaca mobil mewah, hitam, ia mulaimemainkan gitarnya, ia petik dawai gitarnya dan menyanyikan lagu-lagu denganrasa harap agar si pemilik mobil membelas kasihinya. Beberapa saat telahberlalu, namun pemilik mobil itu tak mengacuhkannya. Hampir-hampir ia berputusasa, karena memang tak jarang ia tidak mendapatkan apa-apa. Tak jarang pula iatak dihiraukan, ia tak diperdulikan. Dengan harapan yang hampir pupus,tiba-tiba kaca pintu mobil mewah, hitam, itu terbuka. Tampak wajah seorang anakperempuan dari balik kaca mobil yang terbuka itu, sepertinya usia anakperempuan itu tak jauh berbeda dengannya, mungkin sebaya dengannya. Dengansenyuman yang mengembang, penuh dengan pesona dan keramahan, anak perempuan itumemberinya uang satu lembar, lima puluh ribuan. Ia heran, baru kali ini iamengamen di beri uang sebanyak itu, biasanya paling banyak hanya seribu rupiah,paling sering gopek. Tapi kali ini ia malah dikasih lima puluh ribu rupiah.



Sesaat, ia terpesona dengan ulasansenyuman yang mengembang dan keramahan anak perempuan itu. Senyumannya seolahmeneduhkan hari yang begitu panas, dengan keramahan sikapnya seolah rasa lelah,lapar dan dahaganya seketika musnah. Hampir-hampir ia menyukai sosok anakperempuan dari balik kaca mobil itu.



"Oh...tidak!

"Ini bodoh, ini tidak boleh terjadi, akutidak boleh merasa bersahabat apalagi suka dengan keramahan mereka, aku harusmembenci mereka." Seketika hatinya memberontak. Ia buang uang lima puluh ribuanyang diberikan anak perempuan itu, dan berlari menjauh dari mobil itu.



"Hai..., mau kemana???" teriak anakperempuan itu. Namun ia tetap saja pergi tak mengacuhkan anak perempuan itu.

Ia mencoba melawan hatinya yanghampir-hampir saja menyukai keramahan anak perempuan itu. Ia membenci anakperempuan itu bukannya karena apa-apa, namun ia membenci anak perempuan itukarena anak perempuan itu orang kaya. Ia memang mengharapkan belas kasihan dariorang-orang kaya itu, namun bukan berarti ia menyukai mereka, karena ia telahmenanamkan perasaan benci yang amat pada orang-orang kaya itu. Rasa bencinyamemang sungguh tak beralasan, tapi baginya itu sangat wajar. Ia memang harusmembenci orang-orang kaya itu, karena baginya orang-orang kaya itu adalah salahsatu contoh ketidak adilan Tuhan. Ia benar-benar benci!



Hari berikutnya, di tengah padatnya jalanperkotaan, dengan sinar mentari yang sangat terik yang tak kalah dengankemaren. Ia kembali mengamen, dengan memetik dawai gitarnya, dengan menyanyikanlagu-lagu yang biasa ia nyanyikan, ia menyusuri lampu-lampu merah di perempatanjalan. Sepuluh menit, tiga puluh menit, satu jam, dua jam, tiga jam telahberlalu, namun belum satu rupiah pun yang ia dapat. Ia sudah lelah, ia hampir-hampir berputus asa.Orang-orang kaya dengan mobil mewah itu, tak satu pun yang memperdulikannya.



Ia kembali teringat dengan peristiwakemaren, saat seorang anak perempuan memberinya uang lima puluh ribuan, namunia tidak berterima kasih, ia malah membuang uang itu dan pergi meninggalkan anakperempuan itu tanpa sepatah kata pun.



"Apa gerangan yang terjadi???

Apa Tuhan menghukumku???

Apa Tuhan mengutukku???

Karena aku tak pandai berterima kasih?"batinnya terus bertanya-bertanya.

Ia semakin bingung, tidak biasanya sepertiini, hari ini tak sepeser pun yang ia dapatkan. Sempat terlintas dibenaknyauntuk mencopet saja. Dengan mencopet barangkali ia bisa memperoleh uang denganlebih cepat dan tentunya lebih banyak. Tapi...ia bukanlah copet jalanan, iaadalah pengamen jalanan. Ia merasa menjadi pengamen jalanan itu lebih baik,dari pada menjadi copet jalanan.

"Tapi mangapa? Ketika aku mencobamelakukan hal yang lebih baik, tapi hidup malah mempersulitku, apa-apajangan-jangan Tuhan sengaja menyiksaku dengan mempersulit hidupku." Gumamnya.Ia benar-banar berburuk sangka pada Tuhan.

Satu hari telah berlalu, ia belum jugamendapatkan uang dari hasil mengamennya sepeser pun. Sudah satu hari itu pulaia kelaparan, tenggorokannya semakin kering, perutnya semakin lapar, dantubuhnya semakin lelah. Akhirna pendiriannya berubah, pikirannya goyah.Tenggorokannya yang sudah kering, perutnya yang sudah sangat lapar, dantubuhnya yang sudah sangat letih, memaksanya harus melakukan hal yangsebenarnya tidak ingin ia lakukan, mencopet. Niat dan tekadnya bulat, ia harusmencopet. Ia pergi ke terminal bus, ia benar-benar merasa takut melakukan halitu, karena ini adalah pengalama pertama baginya, tapi karena terpaksa kali iniia harus mencopet.



Ia waspada, ia berusaha sehati-hatimungkin. Ia tidak boleh gagal, kalau sampai ketahuan ia bisa celaka. Ia melihatseorang ibu-ibu sedang menenteng tas di lengan bagian kirinya, ia yakin pastidi dalam tas itu ada dompet dan sejumlah uang. Ia perhatikan kiri dan kanannya,tapi sayang ia kurang memperhatikan di belakangnya, ternyat di belakangnya adaseorang bapak-bapak yang memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan. Dansaat ia mencoba merampas tas ibu-ibu yang ada di hadapannya, malangnyabapak-bapak yang memperhaatikannya sedari tadi, berteriak.



"Copet... copet... coppe........eeet...!!!teriak bapak-bapak itu sambil mengejarnya.

Ia bingung, kaget, bercampur takut. Tanpaberpikir panjang, ia langsung berlari dengan mengerahkan seluruh tenaganya yangtersisa. Ia terus berlari, ia melihat belasan massa mengejarnya dari belakangdengan wajah-wajah yang mengerikan, dengan wajah-wajah menyeramkan, belasanmassa itu seperti binatang buas yang tengah mengejar-ngejar mangsanya, belasanmassa itu seperti singa yang siap menerkamnya. Setelah sekian lamadikejar-kejar, akhirnya bapak-bapak yang mengejar-ngejar kehilangan jejaknya,untunglah ia menguasai betul seluk-beluk jalan disekitar terminal bus itu,bahkan ia banyak hafal jalan-jalan tikus yang orang lain tidak tahu.

"Ah...!!! sial...sial...siaaal...!, akubenar-benar sial!" teriaknya dalam hati.



Ia benar-benar merasa sial, ia bukannyaberhasil mencopet, malahan ketauan dan dikejar-kejar massa, mungkin ia memangtidak berbakat jadi copet. Ia tidak bisa bayangkan bagaimana jika ia tertangkapoleh massa-massa itu, mungkin ia sudah babak belur dan mendekam di balik jerujibesi, seperti anjing yang malang. Karena begitulah nasib seorang copet jalananjika tertangkap. Memang memprihatinkan, jika copet jalanan diperlakukan sepertiitu, mengapa copet negara tidak, copet negara yang lebih banyak merugikanorang, copet negara yang lebih banyak mencopet uang ketimbang copet jalanan.Tetapi mereka jika ketauan masih bisa enak-enakan, masih bisa tidur enak dihotel-hotel, masin bisa makan enak, mereka bahkan dibebeaskan begitu saja,karena memang hukum bisa diperjual belikan, ironi sekali. Tak jauh berbeda denganzaman jahiliah, yang berkuasa menindas yang tak berkuasa, yang kaya menindasyang miskin, dan yang kuat menindas yang lemah.


"Ternyata bukan cuma Tuhan yang tidakadil, tapi negara juga tidak adil. Apa di dunia ini tidak ada yang namanyakeadilan sama sekali???" hatinya menjeritkan pertanyaan.


***



Tiga hari telah berlalu, lengkap sudahpenderitaan dan kesialannya selama tiga hari ini. Selama tiga hari ini pula iabelum makan apa-apa. Ia sudah lelah mengamen, toh tidak ada yangmengasihaninya. Ia juga tak mau lagi mencopet, ia tidak mau kejadiah dua hariyang lalu terulang kembali. Sempat terlintas dipikirannya untuk mengemis saja,tapi ia merasa sangat malu jika harus meminta-minta sambil merengek-rengek"pak... bu... kasihanilah saya, pak...buk...sudah tiga hari belum makan". Iabenar-benar malu melakukan hal itu. Ia memang hanya pengamen, tapi ia tidak maumenjadi pengemis. Memang pengamen dan pengemis itu tidak jauh berbeda, tapibaginya mengamen itu lebih baik dari pada mengemis. Tapi apa yang harus ialakukan? Ia bingung, rasanya ia sudah tak tahan lagi.




Hidup...

Kau begituberat

Lebih beratdari tertimpa gunung

Kau begitugelap

Lebih gelapdari gulita malam

Kau begitupanas

Lebih panasdari menggenggam mentari

Hidup...

Kau terusmenyiksaku

Kau terusmenghukumku

Kau terusmelelahkanku

Kau terusmemaksaku

Kau terusmenekanku

Kau terusmengejarku

Kau terusmemenjaraku

Kau terusmemukuliku

Kau terusmenusukku

Kau terusmenikamku

Kau terusmenghujamku

Kauterus...

Terus...terus... dan akan terus...

Hinggadunia akan mengusir hidupku

Hinggawaktu 'kan hentikan langkah kakiku

Hingga maut'kan hentikan hembusan nafasku


***




Ia semakin lelah, sepertinya ia sudahputus asa, sepertinya ia sudah putus harapan. Semuanya sudah tak berarti lagibaginya.

"Ya...Tuhan, dari pada kau terusmenghukumku, lebih baik aku mati saja!" jeritnya dalam hati.

Otaknya menjadi buntu, pikirannya semakinsempit dan picik, perutnya yang sudah semakin lapar, kepalanya yang sudahsemakin pusing, mebuatnya tidak bisa berpikir dengan jernih lagi. Ia langkahkankakinya dengan tertatih-tatih, sesekali ia jatuh tersungkur di atas tanah,laluia bangki lagi, lalu jatuh lagi.



"Aku ingin mati saja, aku tak tahan lagi,tak ada gunanya aku hidup, lebih baik aku bunuh diri saja, ya...aku bunuh dirisaja" gumamnya diujung keputus asaannya.



Ia langsung menjalankan rencananya, dengansusah payah ia langkahkan kakinya menuju stasiun kereta api yang berda dipinggir kota. Di stasiun kereta api, ia langsung menuju rel kereta api, danberdiri di atasnya, berharap ada kereta yang lewat dan menggiling tubuhnya, danmengakhiri penderitaan hidupnya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya darikejauhan terdengar suara kereta. Suara kereta api itu laksana suara malaikatmaut yang akan menjemputnya, dari kejauhan kereta sudah terlihat.



Ia masih berdiri datas rel, kereta semakinmendekat, dan semakin mendekat. Tinggal sekitar dua atau tiga puluh meter lagidari hadapannya. Kepalanya yang sedari tadi pusing, sekarang semakin pusingmendengar suara kereta api yang begitu menusuk telinga seakan memecah kepala. Saatkereta semakin dekat, pandangan matanya berkunang-kunang, langit yang berwanabiru seperti menghitam, semua terasa menjadi gelap.


Bersambung...

***



http://yusrikombih.blogspot.com/



0 komentar:

Posting Komentar

Visitor

free counters

Copyright @ 2013 صاحب القرآن.