Dalam International Seminar (17/4) yang bertema “Islamic Education and Western Culture—Contradiction and Combination—“ ada hal yang sangat menarik bagi saya dari cerita yang disampaikan oleh narasumber, yakni Prof. Dr. Harry Harun Behr* dari Erlangen Number University, Jerman.
Selain cerita beliau yang cukup menarik tentang sejarah islam di Jerman; keadaan umat muslim di Jerman; deskriminasi umat beragama di Jerman; sekularisasi di Jerman; pendidikan islam di sekolah-sekolah Jerman; dan sebagainya yang berkaitan dengan ISLAM DAN JERMAN, yang paling menarik perhatian saya adalah saat beliau berkisah tentang cerita beliau ketika menemukan kembali cahaya yang selama ini hilang, yakni ISLAM. Masyaallah.
Beliau berkisah:
Di saat saya mendapat kesempatan untuk pertukaran pelajar ke Indonesia**, saya ditempatkan di SMA XIV, Cililitan, Jakarta Selatan. Karena saya banyak berinteraksi dengan muslim Indonesia dengan seluruh kebudayaan mereka, saya mulai tertarik.
Saya mempunyai ayah angkat yang sangat baik sekali selama tinggal di Indonesia, beliau tinggal di Kebayoran. Beliau—ayah angkat saya—banyak memberikan nasehat dan masukan kepada saya. Semakin lama saya beriteraksi dengan ayah angkat saya dan sahabat-sahabat saya yang muslim ketertarikan saya terhadap islam semakin kuat. Dan tampaknya ketertarikan saya tersebut dapat dirasakan oleh ayah angkat saya.
Suatu hari, saat saya berada di rumah ayah angkat saya, beliau berkata “Untuk memahami Islam, kamu harus mempelajari Al-Qur’an.” Kebetulan saya itu saya melihat di dalam lemari beliau ada Al-Qur’an “ARAB-INGGRIS”—Al-Qur’an dengan terjemah bahasa Inggris, lalu saya berkata kepada ayah angkat saya, “Izinkan saya meminjam Al-Qur’an ARAB-INGGRIS yang ada di dalam lemari itu untuk saya bawa pulang dan saya baca di rumah.”
“Oh, tidak boleh,” jawab beliau.
“Mengapa tidak boleh?” tanyaku heran.
“Karena kamu belum suci, maka kamu tidak boleh memegang Al-Qur’an.”
“Kalau begitu, bagaimana caranya agar saya suci dan bisa membawa Al-Qur’an itu?” aku penasaran.
“Ikut aku!” perintah beliau sembari menuju kamar mandi. Aku ikut dan menurut saja, sebab aku percaya bahwa beliau adalah orang baik. Tak satu pun dari perbuatan belia yang kunilai buruk.
Ternyata di dalam kamar mandi, beliau membimbingku mengambil wudhu’. Usai wudhu’ beliau berkata,
“Sekarang kamu boleh membwa Al-Qur’an ini, dengan syarat kamu tidak boleh kentut, tidak boleh buat air, dan tidak boleh segala hal yang membatalkan wudhu’.” Pesan beliau. Dan aku menurut saja.
Sesampai saya di rumah, ketika itu sudah sore hari, saya duduk di kursi di depan rumah saya. Saya duduk dengan secangkir kopi tubruk sambil mengisap batangan demi batangan rokok, saya mulai membaca Al-Qur’an yang tadi saya bawa.
Saya membaca kata demi kata, kalimat demi kalimat, lembar demi lembar, mulai dari surat Al-Fatihah, Al-Baqarah, dan seterusnya. Semakin saya membca semakin saya tertarik dan penasaran. Di dalam Al-Qur’an seperti saya melihat diri saya sendiri. Di saat membaca Al-Qur’an saya merasa seperti ada seseorang yang berbicara dengan saya, seseorang yang sudah saya kenal, namun sudah lama tidak bertemu dan saya sangat merindukannya.
Persis, ketika dulu kecil, saya mempunyai mainan Helikopter yang terbuat dari bahan plastik. Namun suatu saat mainan tersebut hilang. Dan setelah tiga tahun, saat barang-barang di rumah saya di bongkar, barulah mainan Helikopter tersebut saya ketemukan kembali. Tentu saja saya sangat senang karena menemukan kembali barang berharga yang sudah lama hilang.
Nah, perasaan saya saat membaca Al-Qur’an tersebut persis seperti perasaan saya ketika menemukan mainan helikopter ketika saya kecil dulu. Bahkan lebih dahsyat lagi.
Saat itu malam semakin larut, sudah sampai tengah malam, Al-Qur’an yag sejak sore tadi kubaca kini sudah di surat ke 18, surat Al-Kahfi. Tiba-tiba muncul dari dalam dorongan untuk buat air kecil. Tapi, saya berpikir, jika saya buang air kecil maka saya tidak boleh lagi memegang Al-Qur’an tersebut. Sementara saya tidak bisa memperbaharui air sembahyang. Saya tahan saja dorongan buang air kecil tesebut dan saya paksakan terus membaca.
Sampai akhirnya, saya tidak sanggup lagi. Saya letakkan Al-Qur’an tersebut di depan saya, lalu saya meloncat dari kursi tempat saya duduk dan langsung berlari ke kamar mandi.
Setelah buang air kecil, saya mengambil air wudhu seadanya saja. Saya membasuh muka, membasuh kaki, mengusap kepala, membasuh tangan, saya sama sekali tidak tahu bagaimana urutannya, jadi saya yakin wudhu saya memang belum benar.
Lalu saya perhatikan, Al-Qur’an yang tadi saya baca masih tergelatak di depan. Saya tahu, saya tidak boleh menyentuh Al-Qur’an tersebut. Lalu saya berijtihad, dan itu adalah ijtihad pertama saya, saya mengambil syal lalu membalut Al-Qur’an tersebut. Saya mengambil Al-Qur’an tersebut tetapi tidak langsung bersebtuhan, saya lapisi dengan syal.
***
Keesoakan harinya, saat saya kembali ke rumah ayah angkat saya. Saya membawa Al-Qur’an dengan balutan syal tersebut. Karea heran beliau bertanya, “Apa yang kau bawa itu?”
“Ini Al-Qur’an,” jawabku.
“Mengapa dibalut begitu.”
“Wudhu’ saya sudah batal, dan saya tidak tahu cara memperbaharuinya. Ini saya ingin mengembalikannya,” jelasku.
“Duduklah!” perintah beliau.
Lalu beliau memberi saya secangkir kopi tubruk—beliau tahu saya suka kopi tubruk—lalu erkata,
“Nak Harry, sepertinya ada dorongan dari dalam dirimu yang sangat luar biasa untuk lebih dekat dengan Islam. Sebaiknya kamu mengucapkan dua kalimat syahadat saja dan masuk ke dalam islam.”
Benar adanya perkataan ayah angkat saja tersebut. Namun saya bingung, saat itu saya masih Katolik. Ayah saya Katolik dan Ibu saya Yahudi—di Jerman—. Yang saya pikirkan, jika nanti saya kembali ke Jerman dengan agama Islam, apa nanti kata orang tua saya. Bagaimana pula reaksi lingkungan saya di Jerman jika saya masuk Islam.
***
Akhirnya, dengan kemantapan hati. Atas pilihan dan keinginan sendiri, saya masuk Islam saat itu juga. Saya merasa saya bukanlah masuk Islam, melainkan saya kembali kepada Islam. Kembali kepada sesuatu yang selama hilang dari kehidupan saya dan sangat saya rindukan.
Alhamdulillah, aku kembali kepada Islam.
_________________________________
*Harry Harun Behr (6. März 1962 in Koblenz) ist Professor für islamische Religionslehre an der Friedrich-Alexander-Universität Erlangen-Nürnberg. Er war katholisch und konvertierte 1980 zum Islam.
**Zwischen Frühjahr 1979 und Herbst 1981: Besuch der 11. und 12. Klasse der SMA-Mittelschule XIV, Cililitan, Jakarta-Süd, Indonesien.
Im selben Zeitraum: Besuch des Muhammadiyya-Arabisch-Seminars in Kebayoran/Jakarta-Süd (Masjid Agung al-Azhar; Lembaga Pendidikan Islam Majlis Ulama Indonesia / HAMKA-Stiftung).
_________________________________
Cerita di atas adalah hasil kesimpulan saya dari Seminar Internasional yang saya ikuti. Kemudian saya tuliskan kembali dengan bahasa sendiri dari sisa-sisa ingatan memori saya. Mungkin ada banyak perbedaan redaksi bahasa, dan mungkin banyak kekurangan.
Rabu, 17 April 2013
Filled Under:
Umum
*** AKU BUKAN MASUK ISLAM, TAPI AKU KEMBALI KEPADA ISLAM ***
Posted By:
Yusri Kombih
on 08.41
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar