(كوني لؤلؤة نفيسة ولو بين الرمال ~**~ ~**~ كوني زهرة جميلة ولو بين الأعشاب ~**~ (يسري كومبيه ~**~
"Jadilah Sebutir Mutiara Yang Berharga Meski Di Antara Tumpukan Pasir... Jadilah Setangkai Bunga Yang Indah Meski Di Antara Tumbuhnya Rerumputan..." (Yusri Kombih)

Selasa, 13 Juli 2010

Filled Under:

Sejatinya Cinta

Sejatinya Cinta
Oleh : Yusri Kombih



Oh, hati...
Mengapa engkau bergetar ?
Mengapa engkau berguncang ?
Saat melihatnya,
Saat memandangnya.

Oh, rasa...
Mengapa engkau aneh sekali ?
Mengapa engkau terbawa ?
Kala menatapnya,
Kala bersua dengannya.

Oh, cinta...
Inikah dirimu ?
Inikah wujudmu ?
Yang mereka katakan berjuta rasanya,
Yang mereka katakan menggetarkan jiwa,
Yang orang-orang katakan mahadahsyat kekuatannya.

Oh, Eliza...
Kau begitu indah di mataku,
Kau begitu sempurna bagiku,
Kau telah memenuhi ruang hatiku,
Sedetik pun kau tak lepas dari pikiranku.




Pandangan pertama yang terasa begitu aneh, sejak pandangan pertama yang aneh itu, bayangan wajah seorang siswi baru itu, sedikit pun tak bisa terlupa, meski hanya sekejap. Bayangan wajah indahnya, bayangan senyuman manisnya terus menggelayut di pikiran Harits, suara halus dan lembutnya terus terngiang di telinga Harits. Harits masih teringat saat ia berkenalan dengan siswi itu, sambil berjabat tangan dengan jari-jemarinya yang lembut, dengan sedikit senyuman memukaunya ia ucapkan, “Namaku Eliza, kamu boleh panggil aku Liza.”


“Oh...Eliza, gelombang suaramu menggetarkan hatiku, mengguncang jiwaku. Kau memperbolehkanku memanggilmu dengan sebutan ‘Liza’, andaikan kau juga memperbolehkanku memanggilmu “kekasih” “cinta” atau “sayang” atau apalah. Oh...aku tak tahu bagaimana menggambarkan perasaan ini, mungkin rasa ini hanya bisa dirasakan olehku sendiri” gumamnya sambil tersenyum sendiri.



Hatinya terus bertanya-tanya, rasa apakah yang tengah ia rasakan? Ia masih belum tau, inikah yang dinamakan jatuh cinta ? jatuh cinta pada pandangan pertama ? Rasa itu memang benar-benar aneh, sejak pertama rasa itu menghinggapi hatinya, rasa itu terus melekat di benaknya, terus saja menggelayut di pikirannya.


“Oh...Tuhan, aku benar-benar bingung, bingung, bingung...” jerit batinnya..
Seandainya rasa itu menembus langit, mungkin langit akan jatuh, runtuh. Seandainya rasa itu menginjak bumi, mungkin bumi ini akan kering, gersang dan tandus. Seandainya rasa itu mendaki gunung-gunung, mungkin gunung-gunung akan hancur lebur. Seandainya rasa itu menyelami lautan samudera, mungkin lautan samudera akan meluap, mendidih. Betapa dahsyatnya rasa itu, apalagi rasa itu kini tengah menghinggapi hatinya, ia sungguh tak sanggup memendamya.


Hati Harits terasa begitu senang bila bersama Eliza, namun terasa begitu hampa tanpanya. Meski banyak orang lain di sekitarnya, namun semuanya tak ubahnya seperti makhluk mati. Hatinya gembira bila Eliza hadir di sekitarnya, namun gelisah saat Eliza telah pergi. Ia merasa semua orang mencintainya saat Eliza memperhatikannya, namun merasa semua orang membencinya saat Eliza tak mempedulikannya. Bahkan Ia merasa hidup ini tak berarti tanpa Eliza, hidupnya telah tergantung pada Eliza, seakan hidup ini telah tergadai, seakan tujuan hidupnya semata-mata hanya untuk Eliza.


Mungkin hatinya telah dibutakan. Buta apa yang lebih malang dari pada ketika hati telah menjadi buta. Pikiran dan segenap jiwanya telah sepenuhnya dikuasai pleh Eliza. Saat ia makan, minum, duduk, berdiri, diam, terjaga maupun tidur, wajah Eliza dan senyuman manisnya, terus meggelayut di pikiran Harits.

Ia terus dibingungkan oleh rasa itu, Ia masih bingung apa yang harus ia lakukan. Awalnya ia kira rasa itu hanyalah hal yang biasa, yang akan berlalu dengan sendirinya, tapi ternyata seiring berjalannya waktu, rasa itu malah semakin menjadi-jadi. Yang ada dibenaknya hanya Eliza, Eliza, dan Eliza.


Detik waktu terus bergulir, hari-hari terus berlalu, minggu-minggu terus berjalan, namun semakin lama rasa aneh itu semakin menguasainya. Ia sebut rasa itu ‘aneh’ karena ia masih belum tahu juga rasa apa yang tengah ia rasakan.


“Apakah aku benar-benar sedang jatuh cinta ???
Kalau tidak, rasa apakah ini ???
Kalau benar, apa yang harus aku lakukan ???” pertanyaan-pertanyaan itu terus saja membingungkannya. Terkadang ia berpikir, mengapa Islam terlalu menegekang manusia dengan aturan-aturannya, seperti penjara saja, ia nyaris membenci agamanya sendiri. Bahkan lebih parahnya lagi saat shalat pun ia tak bisa lagi mengingat Allah, tapi hanya menginga Eliza.
***

Di kamarnya, kala malam telah larut, otaknya masih berpikir, pikirannya masih berjalan, berjalan sambil berlari, berlari mengejar, mengejar bayangan Eliza. Saat pikirannya terlelahkan oleh bayangan Eliza,meski tertatih-tatih, hingga pikirannya merangkak pun, bayangan wajah dan senyuman Eliza terus terlintas.

Malam semakin larut, keheningan malam semakin mencekam, seakan tak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Namun ia masih terjaga, Ia tak bisa tidur, kelopak matanya enggan tertutup, meski hati dan jiwanya telah lelah, dan terus meronta, menderita. Memendam rasa aneh itu sungguh menyengsarakan. Di sudut malam, kala matanya masih enggan terpejam, dalam kelelah letihannya, ia mendapat sebuah ide.


“Sebaiknya kumintai saja pendapat dari teman-temanku, siapa tahu mereka bisa memberikan solusi” pikirnya.
Malam terus melelapkan yang letih, namun malam tak mampu melelapkan letihnya hati dan jiwa Harits. Ia tidak mungkin menunggu besok, baginya menunggu pagi terlalu lama. Ia putuskan untuk meminta pendapat temannya detik itu juga. Ia menyalakan laptopnya, lalu ia mulai menulis.


“Assalamu’alaikumsalam, wr, wb.
Hai...sob, sudah lama tidak bertemu, bagaimana kabar dan keadaanmu saat ini ? mudah-mudahan baik.
Oh iya, aku ingin memintai pendapatmu tentang masalah yang tengah kuhadapi saat ini. Beberapa bulan terakhir ini, jiwa, pikiranku selalu gelisah dan tidak tenang. Awalnya saat aku bertemu dengan seseorang di sekolahku, namanya Eliza. Saat pertemuan pertama itu, wajah dan senyumannya terus terbayang dibenakku, awalnya indah namun aku tak sanggup bila bayangan itu terus menghantuiku. Aku merasakan sesuatu yang aneh, dan aku tak sanggup memendam rasa yang aneh ini.
Apa ini yang dinamakan Cinta?, Kalau benar, apa yang harus kulakukan?, haruskah kuungkapkan rasa yang terpendam ini?, haruskah kulahirkan rasa yang tersembunyi ini?
Sob, itulah hal yang membuatku bingung, semoga kau bisa memberikan solusi untukku. Kutunggu balasannya, secepanya !
Wassalam”.


Lalu ia kirim surat itu lewat email pada Aditya, sahabat lamanya saat masih di SLTP dulu yang kini melanjutkan SLTA ke luar kota. Email yang sama juga ia kirim pada Ichsan, Ichsan juga sahabat lamanya saat di SLTP dulu, yang melanjutkan sekolahnya ke luar kota juga, tapi Ichsan berada di kota yang berbeda dengan Aditya, terakhir ia dengar Ichsan melanjutkan sekolah ke salah satu pesantren ternama di pulau Jawa. Aditya dan Ichsan adalah sahabat baiknya ketika di SLTP dulu, namun kini mereka berpisah dan sudah dua tahun belum pernah bertemu, hanya sesekali berbagi kabar dan berkomunikasi.


Waktu terus berjalan, waktu sudah menunjukkan pukul 03:00 pagi, Ia masih terjaga, rasa kantuk tak menghampirinya sedikitpun. Dalam suntukku, dalam bosanku, ia masih fokus pada layar laptopnya. Belum berselang lama ia sudah mendapat balasan email. Balasan email dari Aditya. Lalu ia baca.


“Wa’alaikumsalam, wr, wb.
Hai juga. Alhamdulillah baik. Ya, semoga kamu baik-baik juga,
Rits, kamu tak perlu bingung, itu adalah perasaan yang wajar,itu artinya kamu memang sedang jatuh cinta, semua manusia yang normal pasti akan merasakan perasaan itu. Cinta adalah fitrah manusia, jadi kamu tidak perlu ragu, ungkapkan saja perasaanmu, betapa malangnya seseorang yang mencintai tapi tak mampu mengungkapkan perasaannya.
Jadi jangan tunggu lama-lama lagi, ungkapkan rasa cintanu padanya.
Ok???


Harits menjawab kembali email Aditya dengan cepat.

“Sebelumya terimakasih atas saran yang kau berikan. Tapi bagaiman dengan Islam? Sebagai seorang muslim aku tidak bisa mengacuhkannya begitu saja. Bukankah islam tidak membenarkan pacaran?
Menurutmu bagaimana Dit???”


Dengan cepat pula Aditya membalas email Harits.
“Hmmm...Ya...kita memang Muslim, lantas kanapa kalau Muslim? Bukankah oarang Islam itu juga punya hati, yang artinya punya rasa cinta. Masalah aturan agama yang engkau khawatirkan, tidak usah terlalu dipikirkan. Allah pasti maklum, kita adalah makhluk yang ingin dicinta dan mencitai, zaman sekarang siapa sih yang ga pacaran?”
***


Di pagi hari yang cerah, ia kesekolah hanya berharap ingin bertemu dengan Eliza, hanya sekedar memenuhi hasrat jiwanya, hanya untuk melepas rindu hatinya. Ia melangkahkan kaki dengan perasaan sedikit lebih tenang. Rasanya ia telah menemukan jawaban dari pertanyaannya selama ini. Semua kebingungannya telah terjawab. Ia telah membulatkan tekad untuk mengungkapkan perasaannya pada Eliza hari itu juga.


Bel masuk telah berbunyi, ia bergegas memasuki ruang kelas, hari ini ia memang lebih bersemangat sekolah, tapi bukan semangat untuk belajar, melainkan semangat untuk Eliza. Waktu istirahat pun kemudian menyusul. Kata-kata dalam email singkat Aditya tadi malam masih terbayang-bayang. “Kamu tak perlu bingung”, “Cinta adalah fitrah manusia”, “Betapa malangnya seseorang yang mencintai tapi tak mampu mengungkapkan perasaannya”,”Allah pasti maklum, kita adalah makhluk yang ingin dicinta dan mencitai, zaman sekarang siapa sih yang ga pacaran ?”, kata-kata itu terus menyemanagtinya.



Dalam tekad yang semakin bulat, dalam hatinya yang begitu bersemangat.
“Pokoknya hari ini aku harus ungkapkan rasa ini”, seruku dalam hati.


Ia cari-cari Eliza di sekitar halaman sekolah, ia perhatikan di sekitar kiri dan kanannya, tapi tidak ia temukan. Ia cari di kantin, di perpustakaan, di kelas, tapi tak juga ia temukan. Ia sudah mencari hampir semua tempat, tapi tidak juga ia temukan.


“Ada apa gerangan ? Kenapa Eliza tidak hadir ? Aku sudah tidak tahan memendam rasa ini lebih lama lagi.” Rintihnya dalam hati. Hari itu Ia begitu kecewa, ia merasa hari itu tidak berarti, ia benar-benar merasa sangat sial, sial, dan sangat sial.
***

Hari berikutnya, ia masih pada rencananya, ia harus mengungkapkan rasa itu, namun Eliza belum juga masuk sekolah. Ia semakin menderita, kelelahan jiwanya sudah amat sangat, keletihan jiwanya sudah tak tertahankan. Tiga, empat, lima, dan enam hari telah berlalu, dua tiga empat minggu pun terus berlalu, Eliza tak masuk sekolah juga.


”Oh...Tuhan, betapa aku merindukan Eliza” jiwanya meronta.
Satu bulan telah berlalu, satu bulan yang ia lalui dengan sangat berat. Satu bulan yang ia lalui dengan sia-sia tanpa berbuat apa-apa. Baginya waktu sama sekali tak berarti, tak ubahnya seperti sampah yang tak berguna, sampah yang tidak bisa didaur ulang. Ia tidak menyadari betapa ruginya ia selama ini, Mungkin ia tidak pernah menyadari seperti yang pernah diucapkan oleh Ibnul Qayyim, ”Setiap hembusan nafas dan keringat yang keluar bukan dalam rangka ketaatan kepada Allah atau bermanfaat bagi kehidupan, maka hembusan nafas dan keringat itu akan keluar pada hari kiamat sebagai sebuah kerugian dan penyesalan” sungguh suatu perkataan yang indah dan sarat akan hikmah.



Hari ini ia kembali ke sekolah, tapi tidak ada sedikit pun niat di dalam hatinya untuk sekolah, ia bagai mayat hidup yang berjalan di tengah keramaian. Hidupnya hampir-hampir berputus asa, mungkin ia memang telah berputus asa. Namun rasa itu tak pernah lelah, meski hati dan jiwanya telah hampir mati. Hari itu ia tidak lagi mencari-cari Eliza, ia benar-benar telah kelelahan, meski rasa ini memang tak pernah lelah, namun dirinyalah yang tersiksa. Dalam keterputusasaannya, ia hanya diam di sudut keramaian, ia sudah tak bergairah hidup lagi, rasanya ia ingin mati saja. Mungkin dengan mati penderitaannya akan segera berakhir, begitulah yang ia pikirkan, pikirannya sungguh telah menjadi sempit dan semakin picik.



Waktu pun terus berjalan tanpa arti, hingga akhirnya bel pulang sekolah pun menjerit,seperti hatinya yang tengah menjerit dan mengerang tersiksa. Tiba-tiba, ia seperti melihat wajah yang tidak asing lagi, seseorang yang selama ini ia cari, seseorang yang selama ini menguasai hati dan jiwanya, seseorang yang selama ini telah menjadi tujuan hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Eliza.


“Oh...Tuhan, itu Eliza” teriaknya dalam hati.
“Hai...Liza” sapanya setengah berteriak. Lalu Harits mengejar seseorang yang ia kira Eliza itu. Tapi sungguh sayang, ternyata orang itu bukanlah Eliza. Ia salah orang.
“Duh...ternyata dia bukan Eliza, dia hanya sedikit mirip dengan Liza, betapa malunya diriku. Duh...segila inikah diriku? Sebuta inikah hatiku ? Sampai orang lain pun kuanggap Eliza” tanyanya pada hatinya.


Dengan penuh kekecewaan, ia pulang sekolah dengan rasa malu, malu pada orang lain, malu pada diriku sendiri, dan malu pada Tuhan. Sungguh ia merasa dirinya begitu memalukan. Ia sungguh malu, mengapa ia bisa begitu gila, sampai-sampai orang lain ia anggap Eliza. Setiap detak jantungnya, setiap hembusan nafasnya, setiap desiran nadinya, melantunkan nama Eliza. Ia merasa seolah semua orang menertawakanku, mengejek, bahkan menghinanya.
***

Bersambung....


http://yusrikombih.blogspot.com/2010/07/sejatinya-cinta.html
http://yusrikombih.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar

Visitor

free counters

Copyright @ 2013 صاحب القرآن.